Informasi lainnya lihat ke atas, silahkan pilih sesuai tahun penerbitan

Selamat datang di Kelurahan Sukabumi Utara

Selasa, 03 November 2009

Agenda Rakerkesda DKI Jakarta

Kamis, 5 November 2009 08.00 - 08.15 Pendaftaran Peserta
08.15 - 10.00 Pembukaan
Lagu Indonesia Raya
Paduan suara RSUD Cengkareng (MARS Kesehatan)
Laporan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
Pengarahan Gubernur Provinsi DKI Jakarta

10.00 - 10.10 Pembacaan Do'a Pembukaan
10.10 - 10.25 Coffe break
10.25 - 11.35 PANEL I
Penguatan Tenaga Kesehatan di Kantor Kelurahan Dr.Achmad Harjadi,M.Sc.
Deputi Gubernur Prov.DKI Jakarta bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang
Sosialisasi Perda Nomor 4 Tahun 2009 tentang Sistim Kesehatan Daerah Dr. Dien Emawati, M.Kes
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
11.35 - 12.00 Diskusi Panel I
12.00 - 13.00 ISHOMA
13.00 - 14.20 PANEL II
Managemen Pengelolaan Obat dan Perbelkes Drs.H.Purwadi,Apt,MKes, ME
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alkes Depkes RI
Pelayanan Kesehatan dari sudut pandang masyarakat Dr.Marius
LSM Kesehatan
14.20 - 14.40 Diskusi Panel II
14.40 - 15.00 Coffe break
15.00 - 16.00 PANEL III
Pelayanan Prima di sarana kesehatan Dr. Pitono
Direktur RS Siloam Kebon Jeruk Jakarta Barat
Managemen Bencana Dr.Rustam Pakaya, MPH
Ketua Pusat Penanggulangan Krisis Depkes RI
Sosialisasi Undang-Undang Rumah Sakit dan Kebijakan Perizinan Dr.Farid W. Husain,Sp.B (K)
Dirjen Pelayanan Medik Depkes RI
16.00 - 16.15 Diskusi Panel III
16.15 - 16.30 Pembagian Kelompok
Jum'at, 6 November 2009 08.00 - 08.15 Pendaftaran Peserta
08.15 - 09.15 Motivasi diri dalam pelayanan kesehatan Ir.Jen.Z.A. Hans, MSc,Ph,D.
Personal Development Training
09.15 - 09.45 Asuransi Kesehatan Semesta Dr.A.Chalik Masulili,M.Sc.
Kepala Pusat Jaminan Pembiayaan Kesehatan Depkes RI
09.45 - 10.00 Diskusi
10.00 - 10.15 Coffe break
10.15 - 11.30 DISKUSI KELOMPOK
KELOMPOK I (PMKES)
Penanggulangan Bencana, Penyakit yang prioritas di DKI Jakarta dan PD3I (Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi)
KELOMPOK II (SDK)
Pengelolaan Obat dan Perbelkes
KELOMPOK III (YANKES)
Pelayanan dan Perizinan RS
KELOMPOK IV (KESMAS)
Penguatan Bidang Kesehatan di Kantor Kelurahan
11.30 - 13.00 ISHOMA
13.00 - 14.00 Lanjutan diskusi kelompok
14.00 - 15.00 Paparan hasil diskusi kelompok Masing - masing kelompok
15.00 - 15.15 Coffe break
15.15 - 15.30 Kesimpulan Ketua Steering Comite
15.30 - 16.00 Penutupan dr. Dien Emawati, M.Kes
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
16.00 - 16.05 Pembacaan Do'a Pembukaan

Kamis, 20 Agustus 2009

Sosialisasi Kesehatan bagi Keluarga Miskin DKI Jakarta

KEBIJAKAN – KEBIJAKAN KESEHATAN UNTUK KELUARGA MISKIN
Sumber : Juknis Pelayanan gakin, Dinkes Prov DKI Jakarta, 19 Agustus 2009

1. KEBIJAKAN KEPESERTAAN
I. Peserta dalam program ini adalah pasien keluarga miskin, pasien kurang mampu dan pasien korban bencana atau pasien kejadian luar biasa di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakartamelip meliputi lima wilayah administratif kotamadya dan kabupaten administratif Kepulauan Seribu yaitu :

a. Keluarga miskin yang terdaftar dalam data kemiskinan Badan Pusat Statistik;
b. Pemegang kartu (Gakin, BLT, Raskin, Program Keluarga Harapan,kader) dan Program Pemerintah Lainnya;
c. Pasien penghuni Panti Sosial / Rumah Singgah ( bukan karyawan ) yang diusulkan Dinas Bintal dan Kesos Provinsi DKI Jakarta, memiliki sertifikat panti dan kepesertaan bersifat kolektif ;
d. Pasien orang Terlantar yang diusulkan Dinas Bintal dan Kesos Provinsi DKI Jakarta atau yang ditemukan di Provinsi DKI Jakarta;
e. Pasien Korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak/ KDRT;
f. Kriteria tertentu sebagai penghargaan atas jasanya kepada masyarakat seperti
pendonor darah yang telah mendonorkan darahnya lebih dari 75 kali (Anggota Fokuswanda); Veteran Pejuang Kemerdekaan.
g. Pasien dengan Surat Keterangan Tidak Mampu ( SKTM ) verifikasi miskin atau verifikasi kurang mampu;
h. Pasien Korban Bencana / Pasien KLB ( DBD, Diare, Gizi Buruk, AFP, Flu Burung, Leptospirosis, Cikungunya dll );

II. Apabila masih terdapat penduduk miskin yang belum masuk kedata BPS terbaru maka dapat diusulkan melalui Dinas Kesehatan yang kemudian diserahkan ke Bapeda dan akan disurvey oleh BPS

III. Sebelum dilakukan pencetakan kartu gakin data BPS tersebut akan diverifikasi ulang untuk memastikan keberadaannya,setelah kartu terbit diserahkan ke Suku Dinas Kesehatan yang kemudian diteruskan ke Puskesmas Kelurahan untuk dibagikan kepada yang bersangkutan, apabila terjadi ketidak sesuaian sasaran kepesertaan maka kartu wajib dicabut.

IV. Apabila terjadi kesalahan atau kekurangan nama maupun anggota keluarga pada kartu peserta maka dapat dilakukan revisi kartu dengan membawa surat pengantar dari Puskesmas Kelurahannya untuk direvisi ke Dinas Kesehatan

V. Puskesmas kelurahan diharuskan membuat laporan ke Sudin Kesehatan dan Sudin Kesehatan ke Dinas Kesehatan tentang jumlah kartu yang telah didistribusikan,kartu yang rusak, kartu dengan salah alamat maupun nama peserta.


2. KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN

a. Sistem JPK Gakin menggunakan pendekatan JPKM yang menerapkan sistem kendali biaya dan pelayanan yang efektif yang diberikan secara berjenjang dan bersifat komprehensif yang meliputi ;

1.Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) :Dokter umum,Dokter gigi, Bidan
2.Rawat Inap di Puskesmas :Persalinan
3.Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) :Dokter Spesialis
4.Rawat Inap kelas III di RSUD/RS Pemerintah / RS TNI/POLRI/ RS Swasta di Provinsi DKI Jakarta dan RS di luar DKI Jakarta.
5.Pelayanan Ambulans Dinas Kesehatan


b. Persyaratan yang Wajib dibawa oleh pasien :
• Pasien Kartu :
-Kartu Gakin,Raskin,BLT,PKH,KaderKesehatan ( Program Pemerintah lainnya )
- Rujukan.
• Pasien SKTM :
- SKTM yang ditanda tangani oleh kelurahan tempat tinggal pasien.
- Rujukan
• Pasien Panti / Rumah Singgah
- Surat keterangan kepala panti/Rumah Singgah.
- Foto copy sertifikat panti.
- Rujukan
●Orang terlantar :
- Surat keterangan dari direktur RS atau
- Surat keterangan dari Kepolisian atau
- Surat keterangan dari Dinas Bintal dan Kessos.
- Rujukan
• Pasien Yayasan Thalasemia / Yayasan Jantung Anak :
- Kartu anggota Yayasan Thalasemia / Yayasan Jantung Anak
- KTP
- Rujukan
● Penghargaan / Anggota Fokuswanda / Veteran Kemerdekaan :
- Kartu identitas / Surat Keterangan / Sertifikat
- Surat pengantar dari Puskesmas Kelurahan setempat
- Rujukan
● Korban Bencana :
- Surat pengantar dari Posko bencana / RT/RW/Puskesmas
- Penduduk DKI dan Penduduk Luar DKI
- Surat keterangan dari Ambulan Dinas Kesehatan
- Rujukan
● Pasien Kejadian Luar Biasa Penyakit :
- Rujukan Puskesmas ( tanpa rujukan jika di IGD / Emergency)
- Penduduk DKI dan Penduduk Luar DKI
- Rujukan
● Korban Tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sampai usia 18 tahun:
- Rujukan Puskesmas / kecuali jika Emergency tidak perlu rujukan
- Surat Keterangan Dari Kepolisian
- Penduduk DKI dan Penduduk Luar DKI

c. Pasien emergency wajib dilayani oleh Puskesmas Kecamatan / Kelurahan dan Rumah Sakit. Bagi Rumah Sakit yang belum melakukan Ikatan Kerjasama ( IKS ) hanya melayani kasus – kasus emergency dan bila perlu perawatan, maka dirujuk ke rumah sakit lain yang melayani Gakin, untuk informasi tempat tidur dapat menghubungi PUSDALDUKES ( Telepon : 34835118 ) untuk bantuan Ambulan dapat menghubungi Ambulan Gadar Dinkes Telepon : 65303118.

d. Pasien rawat jalan harus melalui Puskesmas,apabila diperlukan dapat dirujuk ke Rumah Sakit. Pasien Emergency dapat langsung melalui IGD dilayani tanpa rujukan Puskesmas cukup dengan KTP.Jika pasien langsung pulang kelengkapan tagihannya cukup dengan surat keterangan Direktur Yanmed RS/ Dokter Jaga IGD. Jika pasien perlu dirawat maka diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan selama 3 x 24 jam hari kerja . Pasien yang langsung ke Poliklinik dianggap pasien umum.

e. Rujukan Puskesmas berlaku 1 bulan untuk penyakit non kronis, untuk penyakit kronis 3 bulan.

f. Pasien pasca rawat inap penyakit Kronis diberi kesempatan untuk kontrol 2 kali di Rumah Sakit tanpa rujukan cukup dengan rencana kontrol dari dokternya selanjutnya dapat dilakukan di Puskesmas.Untuk penyakit non kronis, kontrol di Puskesmas. Rumah Sakit wajib mengembalikan pasien pasca rawat inap ke pada Puskesmas untuk dilakukan pemantauan.

g. Pembuatan Jaminan rawat dilaksanakan di Suku Dinas Kesehatan 5 wilayah Kota Administratif sesuai domisili pasien, KECUALI Pembuatan Jaminan untuk Orang Terlantar / Panti dibuat di DINAS KESEHATAN.

h. Jaminan rawat diberikan sejak pasien / rumah sakit mengajukan surat jaminan. Pengurusan surat jaminan dilakukan oleh keluarga pasien dengan membawa surat pengantar dari rumah sakit. Keterlambatan permintaan jaminan oleh rumah sakit disertai dengan surat keterangan direktur rumah sakit yang menjelaskan tentang alasan keterlambatan. Lama jaminan rawat disesuaikan dengan kondisi pasien. Khusus jaminan rawat bagi pasien di RS Jiwa dan Hemodialisa lamanya 30 hari ( 1 bulan ).

i. Dalam keadaan darurat apabila kelas III penuh, pasien dapat ditempatkan di kelas II maximal 2 x 24 jam, bila lebih dari waktu yang ditentukan maka pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit lainnya atau karena alasan kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk dipindahkan, maka harus dengan persetujuan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

j. Bila diperlukan pemeriksaan penunjang dengan Ambulan ke Rumah Sakit lain maka diwajibkan Rumah Sakit membuat surat rujukan ke Rumah Sakit yang dituju, dilengkapi dengan persyaratan administrasi. Penggunaan Ambulan Dinas Kesehatan harus sesuai dengan indikasi medis, sebagai bukti harus disertai stempel dari Rumah Sakit asal dan stempel dari Rumah Sakit penerima pasien rujukan .Rumah Sakit wajib melayani pasien rujukan dari Rumah Sakit lain.

k. Verifikasi dilakukan untuk memperkuat SKTM yang diterbitkan oleh Lurah. Verifikasi dilakukan oleh Tim Desa yang terdiri dari RT/RW atau TIM PKK RW dan Petugas Puskesmas dengan meninjau langsung ke tempat tinggal pasien bukan hanya dengan wawancara.

l. Surat Keterangan Tidak Mampu ( SKTM ) dan hasil verifikasi tempat tinggal berlaku 1 tahun dapat diperbaharui kembali bila masih diperlukan. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang asli dipegang oleh pasien sedangkan Rumah Sakit cukup foto copy .( yang asli tetap diperlihatkan ke rumah sakit ).

m. Bila tempat tinggal pasien tidak sesuai KTP maka cukup dengan surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh RT/RW setempat. Verifikasi dilakukan oleh Puskesmas dimana pasien tinggal saat ini.

n. Sehubungan kasus melahirkan lama hari rawatnya tidak lebih dari 2 hari maka persyaratan administrasi kasus melahirkan cukup dengan surat pernyataan RT/RW /SKTM tanpa verifikasi lapangan.

o. Melahirkan tanpa pernikahan bukan karena tindak pemerkosaan tidak ditanggung. Melahirkan tanpa surat nikah( NIKAH SIRI ) hanya dijamin 50 %. Kelahiran melebihi 4 anak maka pada kelahiran terakhir disarankan untuk dilakukan TUBEKTOMI.

p. Bayi yang dilahirkan kemudian ditinggal ibunya dianggap sebagai bayi terlantar, oleh karenanya Rumah Sakit harus melaporkan ke Polisi dan kemudian diserahkan ke Panti.

q. Sudin Kesehatan sesuai dengan tupoksinya harus melakukan BINWASDAL ke Rumah Sakit dan Puskesmas di wilayahnya, melakukan Monitoring dan Evaluasi serta menindaklanjuti keluhan masyarakat dan melaporkan semua kegiatan tersebut ke Dinas Kesehatan.

r. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta sebagai regulator membantu wilayah dalam pembuatan kebijakan tentang pelaksanaan Pogram JPK Gakin serta membantu menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang ada.

s. Pasien Tunawisma dan Pasin Terlantar yang tidak mempunyai identitas, harus dilengkapi dengan surat keterangan dari Direktur Rumah Sakit atau pejabat yang berwenang, yang berguna sebagai pengganti SKTM yang dikeluarkan oleh RT/RW dan Lurah. Pada kasus tertentu seperti kecelakaan ada keterangan dari polisi.



t. Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin / tidak ditanggung :
1. Pelayanan yang tidak sesuai prosedur
2. Pelayanan atau perawatan yang berkaitan dengan kosmetik ( bedah plastik,orthodontie dll )
3. Medical Check Up ( MCU )
4. Vitamin atau Suplemen tanpa indikasi medis
5. Pengobatan Alternatif / Tradisional
6. Pengguguran Kandungan tanpa indikasi medis
7. Hamil diluar pernikahan
8. Pelayanan yang berkaitan infertilitas dan kesuburan
9. Bunuh diri
10.Pelaku tindak kriminal

u. Rumah Sakit / Puskesmas /Ambulan, wajib membuat informasi prosedur pelayanan bagi keluarga miskin dan kurang mampu, menyiapkan kotak Pengaduan Masyarakat serta catatan pengaduannya dan tidaklanjutnya.

v. Ambulan Dinas Kesehatan hanya diperuntukkan untuk membawa pasien yang menderita sakit BUKAN untuk MEMBAWA JENAZAH.


3. KEBIJAKAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

a. Pembiayaan untuk pelaksanaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi keluarga Miskin, Kurang Mampu dan Bencana bersumber dari dana APBD

b. Penggunaan dana pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, kurang mampu dan Bencana meliputi :

1.Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)
2.Rawat Inap di Puskesmas
3.Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL)
4.Rawat Inap kelas III di RSUD/RS Pemerintah/RS Swasta yang ber IKS dengan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
5.Ambulan Dinas Kesehatan .

c. Pasien dengan Kartu Gakin, Raskin, Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan ( Bantuan Program Pemerintah lainnya ) dan Panti yang bersertifikat, Orang Terlantar, KDRT, Kader, KLB serta Becana DIBEBASKAN dari biaya JIKA BEROBAT KE PUSKESMAS, Rumah Sakit dan pemakaian Ambulan

d.. Pasien yang dinyatakan dalam keadaan KLB ( DBD,Gizi Buruk,Diare Berat ) serta bencana serta dirawat di kelas III di 17 Rumah Sakit, dibebaskan dari biaya. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga ( KDRT ) dilayani di semua Rumah Sakit yang IKS di kelas III bebas biaya.

e. Pasien dengan SKTM mendapat keringanan 50 %. Bila pasien SKTM tidak dapat membayar 50 % dapat diringankan sampai dengan pembebasan.

f. Surat Pernyataan Pembebasan Biaya, diperuntukkan bagi SKTM yang mengalami kendala biaya. Surat Pembebasan ini HANYA berlaku untuk satu kasus penyakit dan berlaku disemua rumah sakit yang IKS. Surat pernyataan pembebasan biaya dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

g. Uang muka yang telah dibayarkan pada saat pasien SKTM masuk Rumah Sakit tidak dapat dikembalikan walaupun mendapat jaminan bebas biaya kecuali pasien dengan Kartu Gakin, Raskin, BLT,PKH.

h. Biaya penggantian jasa Ambulan Dinas Kesehatan harus disertai dengan surat pengantar dan stempel dari Rumah Sakit asal serta stempel dari rumah sakit penerima pasien rujukan. Biaya penggantian jasa Ambulan Dinas Kesehatan hanya diperuntukkan untuk pasien dan BUKAN untuk MEMBAWA JENAZAH ( tugas dari Dinas Pemakaman ).

i. Dalam keadaan darurat apabila kelas III penuh maka pasien dapat ditempatkan di kelas II maximal 2 x 24 jam, bila lebih dari waktu yang ditentukan maka pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit lainnya atau karena alasan kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk dipindahkan maka akan dibayar sesuai tarif kelas II dengan persetujuan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

j. Pembiayaan kesehatan Program JPK Gakin di Rumah Sakit mengacu Paket Pelayanan Esensial (PPE). Katastropik diajukan jika diagnosa tidak terdapat dalam PPE atau pembiayaannya melebihi PPE untuk kasus tertentu. Pengajuan Katastropik selambat – lambatnya 1 minggu. Lama Pembuatan Katastropik selambat-lambatnya 10 hari.

k. Pemakaian obat mengacu kepada ketentuan yang telah ditetapkan (Menggunakan obat Generik, DPHO, Formularium atau penggantinya sesuai dengan indikasi medis jika tidak ada generiknya maka dapat digantikan dengan obat non generik dengan harga terendah dikelasnya yang mempunyai efek farmakologi yang sama.

l. Dalam hal pemakaian obat maka komite medik Rumah Sakit dituntut untuk lebih selektif dalam memberikan persetujuan obat . Setiap obat non generik harus ditanda tangani oleh komite mediknya. Jika tidak ada tanda tangan tersebut maka obat tidak dapat dibayarkan. Persetujuan obat dan tindakan tidak lagi melalui Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tetapi menjadi tanggung jawab Rumah Sakit.

m. Pasien yang telah menerima pemberian obat dan tindakan pada saat dirawat , harus menandatangani bukti penerimaan obat dan tindakan.

n. Batas maximal pembiayaan suatu kasus khusus di Rumah Sakit Khusus ( Jantung, Kanker, Cuci Darah ,Operasi, ICCU )Rp 100.000.000,- Untuk kasus lainnya sesuai dengan batas maximal yang disetujui oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang tercantum dalam PPE, surat Katastropik / usulan penambahan biaya.

o. Selisih PPE /Katastropik tidak dapat dibayarkan dan menjadi tanggungan Rumah Sakit.

p. Tagihan Rumah Sakit, Puskesmas dan Ambulan diajukan ke Dinas Kesehatan selambat – lambatnya 1 bulan sejak bulan pelayanan. Pekerjaan verifikasi selambat-lambatnya 2 bulan dari diterimanya berkas tagihan.Tagihan Rumah Sakit yang tertunda karena ketidak lengkapan berkas, akan dikembalikan. Pengembalian berkas setelah dilengkapi paling lambat 3 minggu.

q. Pengajuan tagihan yang melebihi batas waktu yang telah ditentukan harus dengan permohonan tertulis dari Direktur Rumah Sakit disertai alasan keterlambatannya.

r. Pembiayaan kesehatan di Puskesmas bersumber APBD dan APBN, Dana APBD diperuntukkan bagi keluarga miskin Provinsi DKI Jakarta, yang mempunyai KARTU GAKIN. Pembiayaannya secara KAPITASI, pembayarannya setiap 3 bulan sekali dengan rumus, jumlah peserta x 3 bulan x besarnya kapitasi. Besarnya kapitasi Rp 700,- Besarnya Kapitasi ditentukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

s. Pelayanan kesehatan diluar paket kapitasi yang dilaksanakan di Puskesmas seperti ODC, Partus, Laboratorium, Poli Spesialis dan Rontgen dilakukan secara fee for service dengan mengacu pada tarif Perda yang berlaku sebagai Non Kapitasi.

t. Dana APBN dengan Program Jamkesmas, dananya langsung ke rekening puskesmas, diperuntukkan bagi :
1. SKTM DKI dan Luar DKI Jakarta
2. Peserta Jamkesmas,Askeskin,Raskin,BLT,PKH,Kader
3. Panti dan Yayasan
4. KDRT
5. Orang Terlantar
6. Pasien KLB

u. Peruntukan Dana Jamkesmas tahun 2009 :
1. Rawat Jalan di Puskesmas
2. Rawai Inap di Puskesmas
3. Pelayanan Persalinan di Puskesmas,Bidan Praktek,Rumah Bersalin
4. Pelayanan Spesialistik Puskesmas
5. Pelayanan Rujukan
6. Upaya Kesehatan Pencegahan Sekunder
7. Manajemen Pengelolaan
Lebih jelasnya dapat dilihat pada Juklak Juknis JPK MM dari Departemen
Kesehatan RI.

v. Pemegang Kartu Gakin dan SKTM yang sedang dirawat di Rumah Sakit diluar Provinsi DKI Jakarta maka dapat ditagihkan sesuai tarif dengan menyertakan bukti tindakan

w. Alat habis pakai untuk jenazah kasus Flu Burung dan HIV AIDS ditanggung oleh Dinas Kesehatan. Kasus Flu Burung ditanggung sampai dengan peti jenazah.

x. Pemulasaran jenazah orang terlantar dan Gakin diserahkan ke Dinas Pemakaman Provinsi DKI Jakarta. Otopsi jenazah bagi keluarga miskin tidak di tanggung oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

y. Tagihan Rumah Sakit dan Puskesmas akan dibayarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta setelah ada berita acara hasil verifikasi ( BAP ). Bila terjadi kelebihan pembayaran tagihan maka pembayaran tagihan berikutnya akan dipotong sebesar kelebihan pembayaran yang lalu.

z. Batas akhir pembayaran pada tanggal 15 Desember tahun berjalan. Pelayanan diatas tanggal 15 Desember tahun berjalan , tagihan dan pembayarannya akan dibayarkan pada anggaran tahun berikutnya . Pembayaran tagihan pada anggaran tahun berikutnya adalah tagihan pada bulan November, Desember dan tagihan tertunda.


I. Agar tidak mengganggu operasional Rumah Sakit maka Dinas Kesehatan segera :
a. membuat SK Gubernur tentang pembiayaan Program JPK Gakin
b. membuat surat permohonan percepatan pembayaran JPK Gakin
dengan kebutuhan dana minimal sesuai dengan BAP yang sudah
diverifikasi

II. Persyaratan tagihan yang harus dilengkapi oleh Rumah Sakit /Puskesmas
dan Ambulan untuk pelayanan Gakin/SKTM :
a. Rekap pasien dengan format yang telah ditentukan
b. Rekap rincian biaya pelayanan ( asli ) yang ditanda tangani oleh Ka.Bag Keuangan dan Pasien dengan nama jelas.
c. Surat Jaminan Pelayanan ( SJP ) dari Dinas Kesehatan.
d. Bukti tindakan, resep, laboratorium dll dengan tanda tangan /paraf penanggung jawabnya.
e. Paraf dari pasien sebagai bukti pasien menerima obat dan tindakan
f. Rujukan ke RS dari Puskesmas,RS ke RS kecuali jika Emergency / IGD tanpa rujukan
g. Resume ( foto copy ) dan Katastropik jika melebihi PPE

III. Bagi KORBAN BENCANA / KLB / KORBAN TINDAK
KEKERASAN :
a. Surat pengantar dari Posko bencana banjir / kebakaran /
Kepolisian
b. Rujukan Puskesmas kecuali Emergency bisa tanparujukan/
pengantar.
c. Foto Copy KTP DKI / Luar DKI Jakarta bagi KDRT dan penyakit jika pada saat kejadian pasien terserang di DKI Jakarta bukan pasien yang khusus datang dari luar DKI Jakarta
d. Rekap pasien dengan format yang telah ditentukan.
e. Rekap rincian biaya pelayanan ( asli ) yang ditanda tangani oleh Ka.Bag Keuangan dan Pasien dengan nama jelas
f. Bukti tindakan, resep, laboratorium, dll dengan tanda tangan /paraf penanggung jawabnya.
g. Paraf dari pasien sebagai bukti pasien menerima obat dan tindakan
h. Resume ( foto copy )
i. Visum jika ada utk Korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak


IV.Pemberi Pelayanan Kesehatan ( Puskesmas, Rumah Sakit dan Ambulan ) bertanggung jawab terhadap setiap tagihan yang diajukan. Pemeriksaan dan Pengawasan dilakukan oleh BAWASDA , BPKP dan BPK.

Rabu, 05 Agustus 2009

Kekerasan dalam Rumah Tangga

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
PENULIS : MUHAMMAD ALI, SKM

Dewasa ini masyarakat khususnya keluarga belum banyak menyadari bahwa sesungguhnya kejadian KDRT sangat banyak di sekitar kehidupan keluarga seperti contohnya ketika suami berkata kasar atau perilaku suami menciptakan rasa takut bagi istri dan anak, maka ini sesungguhnya sudah dapat digolongkan ke dalam KDRT, atau penelantaran orang tua terhadap anak seperti yang terjadi di kota-kota besar termasuk penyertaan anak dalam mencari nafkah sehingga hak bermain dan belajar menjadi hilang sesungguhnya juga merupakan KDRT dan korban mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika korban atau ada pihak yang melaporkan kejadian tersebut pada pihak berwajib.
Gencarnya peranan media massa dalam pemberitaan KDRT turut membantu terbukanya tabir kekerasan dalam rumah tangga walaupun lingkup pemberitaan biasanya berkisar “kasus besar” dan seringkali hanya seputar rumah tangga public vigur / artis misalnya, namun setidaknya sudah dapat membangun kesadaran bersama, bahwa masyarakat khususnya keluarga perlu mendapat perlindungan hukum terutama bagi anak dan perempuan yang dominan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-undang perkawinan 1974 semestinya melindungi pasangan suami istri dengan hak dan kewajiban yang sesuai dengan harkat dan martabatnya bukan sesuai dengan “kodratnya”, karena kata “kodrat” sering disalah artikan sehingga istri menjadi pihak yang selalu lemah dan dirugikan. Banyak pihak sepakat bahwa undang-undang perkawinan secara jelas telah mengakomodir “poligami” dengan syarat ijin dari istri namun ketika syarat itu dilanggar belum ada sangsi yang diberlakukan secara tegas.
Undang-undang yang mengatur poligami dan perceraian “dihalalkan” jika istri tidak memberikan keturunan menempatkan posisi perempuan menjadi satu-satunya tumpuan kesalahan, padahal secara medis banyak faktor yang mempengaruhi keluarga untuk mendapatkan keturunan diataranya faktor suami, baik faktor fisik maupun faktor psikologis.
Berlakunya uu no.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sedikit banyak diharapkan merupakan jaminan berkurangnya kasus KDRT meskipun masih terdapat pasal-pasal yang perlu dikaji karena kurang tegas upaya penanganan korban, pasal dengan potensi beda penafsiran, serta pasal yang tidak tegas mendorong masyarakt untuk melaporkan pelaku KDRT tidak seperti halnya undang2 psikotropika yang secara tegas mengharapkan laporan dari masyarakat serta sangsi2 bagi masyarakat yg tidak melapor.

1. Kultur Masyarakat Indonesia
Seringkali laporan kejadian KDRT oleh korban kepada pihak berwajib sudah pada kejadian KDRT tahap yang kronis, korban melaporkan jika nyawanya sudah hampir diujung tanduk dimana penderitaan yang dialami sudah berulang-ulang, ironisnya lagi sebagian besar pelapor pada akhirnya mencabut laporannya karena merasa kasihan atau mungkin merasa terancam akibat laporannya tersebut. Ada banyak faktor yang mengakibatkan korban enggan untuk melaporkan KDRT yang dialaminya diantaranya :

a. Kultur Patriakhi, yang menempatkan laki-laki/suami sebagai penguasa dalam rumah tangga, suami yang berhak mengambil keputusan dalam rumah tangga yang mengakibatkan posisi perempuan/istri “nrimo”, “manut”, sehingga pada tahap yang lanjut bahkan mengarah pada rasa takut yang berlebihan pada suami.

b. Seringkali kejadian atau persoalan KDRT yang dialami perempuan berujung pada penyelesaian di tingkat agama saja dan dengan “penyalahtafsiran” pada akhirnya mendudukan wanita pada kondisi harus patuh terhadap suami, istri harus menjaga aib rumah tangga sehingga tidak perlu membicarakan persoalan rumah tangga pada orang lain.

2. Peran Serta Masyarakat
Faktor kultural yang secara psikologis menyebabkan korban enggan melaporkan KDRT yang dialaminya, maka salah satu yang diharapkan dapat menegakan “keadilan” adalah adanya Peran serta masyarakat sekitar yang mengetahui, melihat kejadian KDRT namun kenyataannya masyarakat sekitarpun masih berpikir dua kali untuk melapor kejadian KDRT dikarenakan factor kultur ternyata juga mempengaruhi masyarakat, sebagaian masyarakat masih mempercayai bahwa kasus KDRT adalah persoalan internal keluarga dan keluargalah yang harus menyelesaikannya.
Ironisnya ketika korban tidak mampu untuk melapor ternyata masyarakat juga tidak memiliki alasan kuat untuk melapor sehingga diperlukan upaya pemerintah untuk mendorong peran serta masyarakat dalam melaporkan kejadian KRDT, sementara itu uu no 23 Tahun 2004 pasal 15 berbunyi “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Pasal tersebut tidak secara tegas “mewajibkan” masyarakat untuk melaporkan kejadian KDRT yang diketahuinya berbeda halnya dengan undang-undang narkotika dan psikotropika yang secara tegas mewajibkan masyarakat untuk melaporkan dan terdapat sangsi bagi yang tidak melaporkan.

3. Kebijakan Hukum terkait KDRT

a. Kasus KDRT sebagai delik aduan
Perempuan atau istri dan atau anak seringkali menjadi korban dalam KDRT meskipun tidak menutup kemungkinan KDRT dapat juga dialami oleh pria, pada beberapa kasus pria menjadi korban KDRT, tanpa bermaksud membela perempuan dan atau anak pelaku KDRT, jika ditelusuri kronologisnya sebagian besar kasus tersebut diakibatkan oleh KDRT yang dialami oleh perempuan dan atau anak yang terjadi berulang2 sehingga akhirnya perempuan dan anak terdesak dan melakukan pembelaan diri sehingga akhirnya berujung pada “KDRT balasan”.
Terlepas dari itu semua, KDRT siapa pun pelakunya tetap harus mendapat perlakuan yang sama dimata hukum. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan wujud keseriusan pemerintah mencegah dan melindungi korban KDRT meskipun beberapa pasal masih perlu dipertajam sehingga tidak hanya mampu “mengurangi KDRT “ , tetapi mampu “menghapuskan KDRT” seperti tujuan dari uu tersebut.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya banyaknya faktor mengakibatkan korban seringakali tidak berani melaporkan KDRT yang dialaminya, demikian juga masyarakat tidak secara tegas diwajibkan oleh undang-undang untuk melaporkan adanya KDRT lalu siapa yang berkewajiban untuk membawa kasus KDRT ke ranah hukum ? Kasus KDRT sesuai dengan UU no 23 tahun 2004 merupakan delik aduan, karena itu polisi pun tidak dapat menindak pelaku tanpa adanya aduan.

b. Proses pengadilan
Dalam uu no.23 tahun 2004 yang termasuk dalam domain KDRT adalah kekerasan terhadap fisik, psikologis, seksualitas dan penelantaran, pada kasus KDRT fisik, tanpa uu KDRT pelaku sudah dapat dijerat dengan KUHP pasal 351 dan hal ini bukan hal baru karena sejak lama undang2 ini sudah berlaku, yang merupakan ruh dan terobosan dalam undang2 KDRT adalah domain psikologis , seksualitas dan penelantaran, karena merupakan area yang tidak mudah untuk disentuh ke dalam ranah hukum selama ini, karena menyangkut masalah yang sulit terutama dalam pembuktian korbannya.
Dalam proses pengadilan diperlukan bukti-bukti yang mendukung untuk menjerat pelaku, visum merupakan alat bukti yang sah tetapi kadang harus memerlukan saksi-saksi lain, pada kasus KDRT fisik hal ini tidak menjadi persoalan namun tidak demikian dengan KDRT psikologis, seksualitas dan penelantaran yang sulit mendokumentasikan buktinya, demikian juga saksi yang diperlukan.

c. Ketentuan Pidana
Sebagiamana pelaku pelanggaran terhadap hukum demikian juga pelaku KDRT dihukum sesuai dengan perturan yang berlaku, sayangnya pasal 44 uu no 23 tahun 2004 yang mengatur soal sangsi bagi pelaku berpotensi menimbulkan keraguan penafsiran terutama ayat 4 yang menyebutkan “masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari”, masih perlu diterjemahkan maksud dari kalimat tersebut karena bersifat subjektif dan sangat individual .
Hal ini bisa berdampak pada putusan pengadilan dimana jika korban yang menderita serius tetapi karena kecanggihan teknologi kedokteran yang mengakibatkan ia “masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari” maka korban dianggap korban ringan dan pelaku dapat di giring ke pelanggaran ayat 4 yang sangat ringan yaitu kurungan paling lama 4 bulan dibandingkan ayat 1 dalam pasal 44 yang jauh lebih berat ketentuan pidana yang seharusnya diterima pelaku yaitu 5 tahun.

d. Perlindungan Korban
Berbagai hak yang diperoleh korban KDRT dalam pasal 10 uu no 23 tahun 2004 diantaranya perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.
Sayangnya dalam pasal 13 uu no 23 tahun 2004, hak tersebut tidak diiringi dengan adanya pihak yang berkewajiban untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing “dapat” melakukan upaya tersebut dan tidak disebutkan “berkewajiban” melakukan upaya tersebut.

4. Penutup
Dari golongan masyarakat manapun, dari agama apapun di muka bumi ini sepakat bahwa hidup aman, nyaman dan sejahtera adalah kehidupan yang diharapkan manusia. Dari sekian banyak konsep dan teori pun sepakat bahwa kehidupan dalam masyarakat dimulai dari keluarga dan kehidupan dalam keluarga dimulai dari individu-individu. Kekerasan dalam Rumah Tangga terjadi akbibat adanya ketidak seimbangan beberapa komponen manusia sebagai individu, adanya penyebab masalah, serta sistim nilai (value system) yang dipercayai.
Dari faktor individu banyak hal yang tidak dapat dijangkau oleh alam pikiran individu lain karena menyangkut aspek moral sehingga kesadaran diri (self awareness) satu-satunya sasaran yang harus dibidik, peranan pemuka agama untuk meluruskan keyakinan yang keliru dari pemeluknya terhadap penafsiran yang sejak lama mereka yakini kebenaranya dan ternyata tidak sesuai dengan kehidupan manusia saat ini.
Maraknya diskusi-diskusi serta seminar-seminar tentang KDRT pada intinya sepakat untuk menciptakan “zero tolerance” terhadap KDRT, penghapusan KDRT hanya mungkin jika didukung dengan perundangan yang tegas dan konsisten, termasuk sangsi pidana yang jelas dan membuat jera pelakunya.
Program-program pencegahan KDRT harus jelas secara operasional dan terintegrasi dalam program nasional dan mendapatkan anggaran khusus dalam APBN agar dapat terlaksana dengan baik, tidak sekedar menjadi program “gendongan” yang menempel dengan program lain yang kemudian tidak dapat dilaksanakan secara serius sesuai dengan harapan besar untuk “menghapus” KDRT.

Minggu, 14 Juni 2009

Kesiapan kelurahan menghadapai pelimpahan wewenang

KESIAPAN KANTOR KELURAHAN

DALAM MENJALANKAN KEBIJAKAN PENGUATAN PEMERINTAHAN DI TINGKAT KELURAHAN

PEMERINTAH PROVINSI DKI JAKARTA

Mengutip harian umum Pelita edisi Rabu, 17 Juni 2009 “Rp1,6 M Bisa Digunakan Berantas Nyamuk DBD [Metropolitan). Dana penguatan kelurahan (DPK) yang diantaranya diperuntukan kesehatan masyarakat, menurut Sekretaris Komisi C DPRD DKI Jakarta Prya Ramadhani bisa dipakai untuk mengatasi wabah DBD (demam berdarah dengue). Kalau DPK diberdayakan maksimal, Jakarta Timur tidak lagi jadi jawara DBD seperti yang dijuluki gubernur.

Kasus Demam Berdarah Dengue yang terjadi di Jakarta sampai dengan Mei 2009 tercatat 12.806. Untuk mengantisipasi kasus yang semakin meningkat, Prya Ramadani Wakil Ketua komisi C bidang Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta menyarankan ”agar pemerintah provinsi DKI Jakarta menggunakan dana penguatan di kelurahan. Dana Penguatan Kelurahan ini besarnya Rp 1,6 miliar per kelurahan.”

Senada dengan hal tersebut, Banjar Kepala Bidang Pengendalian Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan bahwa ”dana penguatan di kelurahan dan kecamatan memang sudah disiapkan untuk pergerakan masyarakat untuk kesehatan seperti untuk jumantik dan posyandu. Dana penguatan itu sudah dialokasikan sejak 2006, namun perangkat organisasi untuk pelaksanaan program saat itu belum dibentuk. "Sekarang (2009) sudah ada seksi kesejahteraan masyarakat maka dana tersebut dapat dipergunakan.” ( dikutip dari media on line)

Mendukung dan sejalan dengan kutipan tersebut , Ketua Fraksi PD (Partai Demokrat) DPRD DKI Jakarta, Firmansyah mengatakan bahwa Dana penguatan tahun 2008 dialokasikan antara Rp 2 miliar – Rp 2,3 miliar per kelurahan, maka diharapkan anggaran tersebut bisa segera dipergunakan (dikutip dari http://www.dprd-dkiprov.go.id

Jika kita pahami sepintas seolah Pemerintahan Kelurahan di DKI Jakarta saat ini telah memiliki SDM serta anggaran yang memadai, tetapi perlu kita kaji sejauh mana proses penguatan kelurahan serta aspek-aspek historis yang telah dilalui , yang sedang dilalui dan yang akan dihadapi kantor Kelurahan menyongsong tercapainya tujuan Pemerintah DKI Jakarta untuk mengurangi akumulasi masalah sosial yang terjadi saat ini, termasuk diantaranya masalah kesehatan, kependudukan, dan lingkungan yang belum tuntas penyelesaiannya.

Kondisi Umum Kantor Kelurahan di DKI Jakarta Saat ini

Pemerintahan Kelurahan sebagai ujung tombak Pemerintahan daerah, terdekat dengan kehidupan masyarakat, dan Lurah sebagai aparat pemerintah memiliki ”legitimate power” untuk mempengaruhi tokoh masyarakat (RW dan RT) yang notabene merupakan representasi masyarakat di wilayahnya sehingga kelurahan sejatinya mampu dalam hal penerapan program-program pemerintah terutama yang menyentuh langsung pada aspek kehidupan masyarakat, oleh karena itu perlu kiranya analisis kebijakan pemerintah DKI Jakarta khususnya kebijakan masalah Penguatan Pemerintahan Tingkat Kelurahan serta upaya-upaya persiapan untuk mewujudkannya.

System pelayanan masyarakat di beberapa kelurahan di DKI Jakarta selama ini terkesan menganut system “kekeluargaan”, kurangnya SDM dari segi kuantitas maupun kualitas menciptakan budaya kerja dengan pedoman dari “leluhur” ,”turun-temurun “, menjadi hal yang biasa jika satu petugas mengerjakan semua layanan, atau satu pekerjaan dapat eksekusi oleh siapa saja yang bekerja di kelurahan, sisi baiknya adalah warga masyarakat yang ingin memperoleh layanan dapat dengan cepat dilayani tanpa menunggu petugas yang bertanggungjawab.

Sisi negatif yang dapat terjadi akibat system “kekeluargaan” adalah adanya kecendrungan program layanan yang diberikan pada masyarakat berorientasi hanya pada hasil, “asal pekerjaan selesai“ (APS) sehingga pelayanan yang dilakukan tidak dapat dirancang lebih baik, lebih professional, lebih effektif bahkan jauh dari inovatif.

Restrukturisasi birokrasi yang dicanangkan oleh Pemerintah DKI Jakarta dilaksanakan dengan harapan adanya perubahan kearah pelayanan yang lebih cepat dan bermutu, namun sayangnya sampai saat ini juni 2009, pejabat kepala seksi yang dilantik dalam era restrukturisasi justru belum dapat bekerja secara optimal disamping tidak memiliki staf operasional juga karena belum disahkannya dokumen tupoksi yang seharusnya menjadi pedoman dalam bekerja, akibatnya pejabat baru tetap mengikuti gaya lama system “kekeluargaan”.

Akibat petunjuk teknis dalam melaksanakan tugas belum ada hingga timbul kesan pejabat kurang bertanggung jawab melaksanakan tugas, sesungguhnya bukan demikian melainkan seorang professional memang harus bekerja sesuai dengan tugas dan fungsinya agar dapat dipertanggungjawabkan secara professional juga, sebaliknya aparat yang mengerjakan semua pekerjaan tanpa tanggungjawab yang jelas sesungguhnya justru tidak menunjukan profesionallitas dan dapat merugikan dirinya, atasannya, institusinya, bahkan masyarakat yang dilayaninya.

Kesiapan Sarana dan Prasarana Kantor Kelurahan

Rencana Pembangunan 5 kantor kelurahan di DKI Jakarta pada Tahun 2010 merupakan wujud seriusnya rencana penguatan Kelurahan dari aspek sarana yang kondusif bagi petugas dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat karena saat ini masih bayak bangunan fisik kantor kelurahan di DKI Jakarta yang belum memadai terutama dari aspek kecukupan ruang, karena kantor kelurahan tidak saja ditempati oleh aparat Pemda DKI tetapi juga ditempati sebagai kantor masyarakat, seperti diantaranya: Kantor Dewan Kelurahan, PKK, bahkan kantor Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang menempati ruang gedung kelurahan sehingga sudah selayaknya dilakukan penambahan ruang.

Penambahan bangunan atau ruang kerja sebagai wujud menciptakan lingkungan yang kondusif bagi aparat kelurahan, diharapkan aparat dapat bekerja lebih optimal dan terpenuhinya rasa aman dan nyaman, sehingga dapat meningkatkan kinerjanya, lebih baik jika hal tersebut diimbangi dengan tersedianya prasarana yang memadai dan mutakhir serta lebih sempurna jika tersedia SDM yang mempunyai kompetensi sesuai dengan kebutuhan kelurahan dan mengikuti kemajuan tehknologi, seimbang dengan “pamor” DKI Jakarta sebagai Kota Metropolitan yang menjadi barometer Indonesia dimata internasional, sejajar dengan kota besar lain di dunia.

Kesiapan SDM Kantor Kelurahan

Dewasa ini system layanan pemerintah daerah beberapa diantaranya menyulitkan bagi masyarakat karena panjangnya birokrasi, untuk memperpendek rantai birokrasi itu maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencanangkan program2 yang tadinya dilaksanakan di tingkat kota, kecamatan, Suku dinas, dinas atau unit2 dibawahnya, beberapa akan dilimpahkan ke Kelurahan.

Diperlukan tenaga teknis khusus yang mempunyai kualifikasi sesuai dengan bidang program pelimpahan, agar jangan terjadi adanya program yang terancang dengan baik, tetapi tidak ada SDM yang kompeten mengerjakannya, atau sebaliknya ada SDM yang kompeten tetapi program/kegiatan yang mestinya dilaksanakan masih dalam bentuk wacana oleh karena masih dalam proses pengesahan kebijakan pelimpahan wewenang.

Upaya pemenuhan kebutuhan SDM dengan menempatkan pejabat eselon IV sebanyak 8 jabatan (lurah, wakil, sekretaris serta 5 kepala seksi) untuk setiap kantor kelurahan serta adanya rencana Pemerintah DKI Jakarta untuk menambah personil PNS kelurahan yang semula berjumlah 11 sd 15 orang menjadi 30 sd 33 orang hendaknya dengan pertimbangan kompetensi yang diperlukan di kelurahan, bukan sekedar pemerataan jumlah tenaga apalagi sekedar mengisi kekosongan jabatan.

Perlu analisis lebih mendalam mengenai jenis jabatan struktural di Kelurahan agar garis komando dan garis koordinasi menjadi lebih jelas dan otomatis dapat dijalankan lebih effektif, selanjutnya kompetensi teknis sangat diperlukan karena banyak Kantor Kelurahan di DKI Jakarta yang masih mengandalkan tenaga harian lepas/honorer untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis yang semestinya sudah dapat dilakukan oleh tenaga operasional PNS .

Tenaga operasional yang akan di tempatkan di kelurahan hendaknya terdiri dari berbagai disiplin ilmu, diantaranya Ilmu pemerintahan, kesehatan masyarakat, keagamaan, sosial, administrasi perkantoran, ekonomi, akutansi dan keuangan serta hukum dll, sehingga dapat bersinergi dengan program-program yang rencannaya akan menjadi kewenangan kelurahan.

Analisis Proses Pelaksanaan Program Pelimpahan Wewenang dan Permasalahannya

Kebijakan inovatif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan kelurahan sebagai pintu terdepan dalam pelayanan masyarakat, kewenangan pelayanan langsung di kelurahan, salah satu program limpahan wewenang adalah pelimpahan dalam bidang kesehatan kepada kelurahan, kenyataannya dilapangan, bidang kesehatan dalam hal ini puskesmas ternyata telah merespon dengan mengurangi beberapa program yang tadinya dilaksanakan di puskesmas, lalu pertanyaan besar, apakah kelurahan sudah mengintegrasikan program kesehatan yang “dilepas” oleh puskesmas itu ke dalam program kelurahan ?

Dari hasil telaah Daftar Anggaran Satuan Kinerja (DASK)/ DPA 2009, Program kesehatan di tingkat puskesmas yang di limpahkan ke kelurahan saat ini berpotensi tidak dapat dilaksanakan karena berbagai kendala tehnis dan substantive, karena rancangannya mungkin tidak melibatkan sektor terkait yang lebih kompeten, atau mungkin pada saat penyusunanya hampir bersamaan dgn proses restrukturisasi organisasi, yang mengakibatkan permasalahan kesehatan tidak dapat tergali lebih mendalam bahkan rancangannya tidak sesuai dengan kaidah perumusan rencana yang berlaku di bidang kesehatan demikian juga dengan program lain yang dilimpahkan ke kelurahan bukan tidak mungkin akan bernasib sama.

Permasalahan kesehatan yang tidak tuntas di DKI Jakarta diantaranya Penyebaran Penyakit Demam Berdarah. Walaupun sudah ada Perda/Pergub mengenai Pemberantasan demam berdarah namun Jumlah kasus DBD belum secara signifikan dapat diturunkan , ini bukan tidak mungkin terkait juga dengan program2 yang tidak dapat terlaksanan secara maksimal , selajutnya program kebersihan lingkungan seperti pembuangan sampah yang tidak terkendali terkait dengan kurangnya sosialisasi mengenai cara pembuangan sampah.

Masyarakat DKI Jakarta banyak yang tidak mengerti perbedaan sampah basah dan sampah kering apalagi kalau membedakan sampah organic dan non organic yang biasa di tulis di tempat sampah yang disediakan oleh pemda DKI, berdirinya bangunan-bangunan liar dan perilaku merokok di sembarang tempat, ditemukanya penyalahgunaan narkotika secara korporasi masih menjadi permasalahan di prov DKI Jakarta.

Permasalahan moralitas aparat menjadi bagian penting dalam upaya peningkatan layanan yang professional, Indikasi suap di pelayanan Publik di DKI Jakarta, yaitu adanya tawaran dari aparat untuk percepat proses dengan jumlah uang tertentu (hasil sidak KPK pada senin 8/6 2009) , hal ini dapat saja juga terjadi di tingkat kelurahan, mungkin karena kurangnya rasa tanggungjawab pejabat yang berwenang terhadap pekerjaan itu, dan mungkin masih berkaitan dengan kurangnya motivasi untuk memberikan layanan yang lebih professional atau ada kaitannya dengan kebutuhan hidup yang semakin meningkat di kota metropolitan sehingga perlu segera realisasi penyesuaian tunjangan daerah seperti berita yang sudah santer terdengar di kalangan aparat pemerintah Prov DKI Jakarta.

Saran-saran

Diharapkan agar Pemda DKI Jakarta dapat segera merealisasikan rencana yang dibuat pada setiap aspek yang berkaitan dengan penguatan tingkat kelurahan seperti Perangkat hukum kebijakan sampai dengan tingkat operasional dalam bentuk Petunjuk Tehnis dalam melaksanakan tugas dan fungsi , sarana dan prasarana yang memadai, SDM professional yang memiliki integritas tinggi terhadap upaya pemberantasan KKN, Sistem pengawasan yang berkesinambungan, serta system reward dan punishment yang konsisten sehingga Pelayanan Paripurna yang Berkualitas dapat segera dirasakan oleh masyarakat DKI Jakarta khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Muhammad Ali, SKM


Riwayat Penulis :

Nama : Muhammad Ali , SKM

Tempat/Tgl lahir : Jambi, 11 Oktober 1973

Alamat : Komplek Kehakiman

Jln.Veteran II No D.12 TANGERANG BANTEN

: Telpon : 021-5524447 Fax : 021-5581675

: HP : 081210122211/ 08158333385/ 08888330838

E_mail : alieskaem@elitemail.org


Baca juga : http://www.dprd-dkiprov.go.id

Jumat , 25/04/2008

LURAH ‘NGAKALI’ SPJ DANA PENGUATAN

JAKARTA (25 April 2008) --- Dana penguatan kelurahan yang diperuntukan kegiatan keamanan, kebersihan dan kesehatan masyarakat yang dialokasikan APBD DKI setiap tahun diduga cenderung disembunyikan oleh sebagian lurah. Dana penguatan tahun 2008 yang dialokasikan antara Rp 2 miliar – Rp 2,3 miliar per kelurahan, ternyata banyak yang tidak diketahui warganya. Ini berarti tidak transparan.

Ada semacam pembodohan masyarakat oleh lurah atas ketersediaan dana penguatan. Masyarakat harus tahu kalau selama ini ternyata kerja bakti pun ada anggarannya Rp 150 juta di kelurahan,” ucap Ketua Fraksi PD (Partai Demokrat) DPRD DKI Jakarta, Firmansyah, Jumat.

Pemda bersama DPRD sejak tahun 2006 sudah mengalokasikan dana penguatan kelurahan untuk pembangunan ditingkat bawah. Dana ini dialokasikan di kelurahan untuk memotong birokrasi guna percepatan kebutuhan masyarakat kelurahan. Alokasi dana ini pun setiap tahun naik terus yang awalnya tahun 2006 dialokasikan Rp 1,2 miliar per kelurahan.

Ketertutupan lurah terhadap dana penguatan ini, menurut Firman bisa diindikasikan untuk mengakali dokumen penggunaan anggaran. Karena terinformasikan ada juga teken SPJ (surat pertanggungjawaban) dengan kuitansi kosong. “Ini, kan, pembodohan dan akal-akalan lurah,” ucap Firman.

Kondisi itu diketahuinya saat reses dengan masyarakat kelurahan sekecamatan Kemayoran, Menteng, kel. Galur, Kampung Rawa, Tanah Tinggi, Johar Baru dan Cempaka Baru. Ia juga akan melaporkan camat Kemayoran dan para lurahnya ke walikota karena tak hadir diundang dalam reses temu warganya.

Tak hanya lurah, Firmansyah juga menyayangkan anggota Dekel (Dewan Kelurahan) yang tidak memberikan pencerahan terhadap warganya atas ketertutupan penggunaan dana penguatan kelurahan oleh lurah. “Harusnya anggota Dekel memberitahukan ke warga bukan malah ikut sekongkol,” tandasnya.

Misalnya, pos yandu punya hak anggaran di dana penguatan antara Rp 12 juta – Rp 15 juta. Tapi kenyataannya pengurus posyandu tak pernah menerima dana itu kecuali dikirim bahan mateng yang akhirnya tak sesuai kebutuhan. Contoh, pos yandu butuh meningkatan gizi buat balita tapi dikirimnya oleh lurah sembako. “Ibu-ibu posyandu maunya dikirim anggaran biar dikelola sendiri dan belanja kebutuhan sesuai yang diperlukan masyarakat,” tambahnya.

Sumber Berita : humas setwan

Selasa, 26 Mei 2009

BERITA PENTING TERKAIT KESMAS KELURAHAN

2010, Penerima Gakin di Jakbar 37.194 RTS Berdasarkan data Sudin Kesehatan Jakarta Barat yang dikeluarkan BPS (Badan Pusat Statistik), total warga penerima kartu keluarga miskin (Gakin) di Jakarta Barat pada tahun 2008 sebanyak 40.329 RTS (rumah tangga sasaran), atau masih mengacu pada data 2002. Untuk 2009, kemungkinan data itu masih akan digunakan. Sedangkan untuk tahun 2010, total warga penerima Gakin sebanyak 37.194 RTS.

“Sesuai Instruksi Gubernur (Ingub) DKI Jakarta no 27/2009 yang dikeluarkan pada bulan Maret, jumlah penerima gakin di Jakbar sebanyak 37.194 RTS,” sebut Kasudin Kesehatan Jakarta Barat, Hj Yenuarti S Arfian didampingi Julia Karnagi, Kasi Pelayanan Kesehatan, Senin (25/5), di ruang kerjanya.

Ia menjelaskan, data tersebut kemungkinan baru akan digunakan pada 2010, karena untuk 2009 hingga kini masih mengacu data lama yakni 40.329 RTS.

Lebih lanjut dipaparkan, warga pemilik kartu Gakin ini digratiskan 100 persen jika berobat ke RSUD atau rumah sakit milik pemerintah, Puskesmas dan 85 rumah sakit swasta lainnya di DKI Jakarta, untuk perawatan di kelas III. “Data kartu Gakin itu dikeluarkan dari BPS, warga yang mempunyai kartu Gakin digratiskan 100 persen, yang bayar Pemda DKI,” jelasnya.

Sedangkan untuk data SKTM (surat keterangan tidak mampu), ia mengaku tak mengetahui berapa ttotal yang sudah dikeluarkan. Pasalnya SKTM itu dikeluarkan di tingkat kelurahan melalui verifikasi pihak Puskesmas setempat. Faktanya, sambung Yenuarti, warga yang menggunakan SKTM untuk pelayanan kesehatan di rumah sakit maupun Puskesmas lebih banyak dibanding yang menggunakan kartu Gakin. “Hampir 65 persen warga menggunakan SKTM,” ungkapnya.

Padahal, jelas dia, SKTM itu masih berkontribusi atau dikenakan biaya berobat 0 – 50 persen, berbeda dengan kartu Gakin yang free 100 persen. “Masalahnya adalah, warga tidak mau tahu, mereka menganggap SKTM itu sama dengan Gakin atau gratis 100 persen juga,” tuturnya.

Terkait SKTM, Yeni mengakui masih terdapat beberapa kendala, antara lain pihak kelurahan terkadang terlalu mudah mengeluarkan SKTM tanpa melalui survei dan verifikasi yang akurat sehingga jumlahnya terlalu banyak. Selain mereka yang berobat dengan SKTM itu minta free 100 persen, banyak juga warga yang mampu atau orang kaya minta dibuatkan SKTM. “Bahkan ada juga calo (perantara) yang ikut terlibat agar SKTM itu dikeluarkan.”

Untuk itu dia berharap sebaiknya SKTM dibuat setelah ada verifikasi melalui tim survei yang melibatkan RT/RW termasuk kader PKK setempat dengan mengacu kategori miskin, kurang mampu dan mampu. Kategori miskin adalah warga yang berpenghasilan Rp 600 ribu ke bawah per bulan. “Warga dengan kategori ini yang diprioritaskan dapat SKTM dan free 100 persen,” jelas Julia. Sedangkan untuk kategori kurang mampu adalah warga yang berpenghasilan Rp 1 juta ke atas. “Mereka ini tetap kena kontribusi (biaya pengobatan).”

Yeni mengungkapkan, pihaknya sudah menjelaskan masalah SKTM ini kepada Walikota. Ia berharap para lurah lebih teliti lagi dalam mengeluarkan SKTM. “Sebaiknya pak lurah melibatkan pihak Puskemas saat melakukan verifikasi, termasuk bekerjasama dengan RT/RW dan kader PKK ketika survei ke lapangan, karena mereka ini yang paling mengetahui kondisi warga dan lingkungannya,” imbuh Yeni.

PANTI
Jumlah penghuni Panti Laras atau Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa 01 Cengkareng di Jalan Kemuning No 17 RT 14/02, Jakarta Barat melebihi kapasitas. Panti yang berkapasitas 250 orang tersebut saat ini dihuni penghuni sebanyak 614 orang. "Saat ini jumlah penghuni yang ada di panti jauh melibihi kapasitas yang ada,” kata Ihud Saputra, Kepala Panti Laras Jakarta Barat, saat menerima kunjungan Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Jakarta Barat, Selasa (19/5).

Untuk itu ia berharap gedung di blok teratai dibangun sejak 1972 segera direhab total. "Saya berharap pembangunan gedung bisa secepatnya dilakukan," harapnya. Menurutnya, sejauh ini pihak panti melakukan berbagai hal untuk menyiasati over kapasitas tersebut, antara lain dengan menempatkan penghuni di dalam ruangan-ruangan besar. Untuk satu sel, biasanya diisi 20 hingga 25 orang. "Kalau tidak begitu gedung yang ada tidak akan bisa menampung para penghuni.”

Ia menjelaskan, secara umum kondisi gedung Panti Laras cukup memprihatinkan. Satu dari tiga bangunan yang ada menurutnya harus segera direnovasi. Bangunan tersebut terletak di Blok Teratai tepatnya di sisi sebelah selatan. Kondisi bangunan itu dikhawatirkan akan membahayakan bagi para penghuni panti di blok tersebut yang dihuni sekitar 160 orang. "Kita akui keadaan salah satu gedung di panti laras memang sudah tidak layak lagi. Namun terpaksa tetap kami gunakan karena kapasitas gedung terbatas,” papar Ihud.

Menurutnya, setiap kali turun hujan, bangunan tersebut selalu terendam air. Keadaan gedung tersebut sebenarnya sudah dilaporkan ke Dinas Sosial DKI. Peninjauan juga sudah dilakukan, namun hingga koni belum ada tindak lanjutnya. "Rencananya sih tahun 2009 ini perbaikan akan dilakukan, tapi saya tidak tahu mengapa sampai saat ini belum terealisasi.”

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada di Panti Laras, kegigihan petugas dalam merawat dan membina para penghuni patut diacungi jempol. Petugas yang berjumlah sekitar 10 orang itu tak pernah jenuh membimbing para penghuni yang menderita gangguan jiwa tersebut dengan berbagai kegiatan di antaranya bimbingan rohani dan bermain musik.

Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada di Panti Laras, kegigihan petugas dalam merawat dan membina para penghuni patut diacungi jempol. Petugas yang berjumlah sekitar 10 orang tak henti-hentinya membimbing para penderita keterbelakangan mental ini dengan berbagai kegiatan. Diantaranya kegiatan musik dan bimbingan rohani.

Usai mengunjungi Panti Laras Cengkareng, rombongan PMI Jakarta Barat melanjutkan kunjungannya ke Panti Grahita Pegadungan, Kecamatan Kalideres. Di tempat ini, rombongan yang juga terdiri atas para PMR (palang merah remaja) itu bercengkrama dengan para penghuni yang berjumlah sekitar 94 anak-anak cacat ganda/fisik. Selain memberikan bingkisan, rombongan juga menghibur penghuni panti dengan berbagai kegiatan.

DBD
Pemprov DKI Bentuk Tim Khusus Perangi DBD Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) hingga kini masih menjadi ancaman serius bagi warga DKI Jakarta. Untuk memerangi penyakit berbahaya ini, sejak beberapa tahun lalu Pemprov DKI Jakarta telah mencanangkan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 30 menit setiap hari Jumat.

Bahkan kini, tekad perang terhadap DBD kembali digaungkan. Gubernur DKI Jakarta H Fauzi Bowo, ketika pelaksanaan acara PSN di RW 10, Kelurahan Jelambar Baru, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat pada Jumat (15/5) pagi, menyatakan telah membentuk tim khusus yang bertugas mengawasi sekaligus terjun langsung ke wilayah kelurahan untuk memastikan PSN benar-benar dilakukan setiap Jumat.

Tim khusus tersebut terdiri atas para pejabat seperti kepala dinas, walikota dan pejabat di jajaran pemerintah kota/kabupaten. Mereka diberi kewenangan mengatasi masalah DBD di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Sebagai kegiatan perdana tim khusus, Gubernur meminta Kepala Inspektorat Provinsi DKI Jakarta, Sukesti Martono, untuk mengunjungi dan memonitor wilayah Jakarta Barat setiap hari Jumat.

“Pak Sukesti harus ada ditengah-tengah warga Jakarta Barat yang sedang melakukan PSN. Apabila DBD di Jakbar masih tinggi, salah satu pejabat yang akan saya tegur adalah pak Sukesti," kata Gubernur.

Selain itu, ia juga menginstruksikan seluruh pejabat di tingkat wilayah Jakarta Barat, antara lain Walikota, asisten Ekonomi, asisten pembangunan, para camat, lurah dan pejabat lainya agar selalu hadir di tengah-tengah masyarakat. "Ini penting, demi memastikan PSN benar-benar dijalankan," tandas Gubernur.

Menurutnya, untuk memberantas DBD di DKI Jakarta tidak cukup hanya mengandalkan aparat pemerintahan saja, namun dibutuhkan kerja keras dan keterlibatan seluruh komponen masyarakat. Pada kesempatan itu Gubernur juga mengimbau semua warga DKI Jakarta agar membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dalam kehidupan sehari-hari sekaligus aktif melakukan PSN di lingkungan masing-masing. "Untuk memerangi DBD bersama-sama masyarakat, saya akan terus berkeliling ke semua wilayah DKI Jakarta," katanya.

Sementara itu Ida Bagus Nyoman Banjar, Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, menyebutkan periode Januari - Mei 2009 kasus DBD di DKI Jakarta sebanyak 13.673 kasus, 28 orang di antaranya meninggal dunia. Hingga kini kasus DBD tertinggi se DKI diduduki Jakarta Timur dengan 4.192 kasus, 10 orang meninggal. Disusul Jakarta Selatan 3.214 kasus, 7 meninggal, Jakarta Utara 2.926 kasus, 3 meninggal, Jakarta Pusat 1.706, 4 meninggal.

Sementara Jakarta Barat menjadi wilayah terendah kasus DBD dengan 1.635, 4 orang meninggal. "Sejauh ini Jakarta Barat tercatat sebagai wilayah paling rendah kasus DBD-nya," jelas Banjar. Namun ia tetap khawatirkan kasus DBD di DKI Jakarta masih akan meningkat, apalagi jika warga tidak serius melakukan PSN.

Banjar juga mengungkapkan, saat ini dari 5 wilayah kota administrasi, tercatat 32 kelurahan yang masuk zona merah DBD. Ia memaparkan, keluraha zona merah itu antara lain di Jakarta Timur sebanyak 11 kelurahan, Jakarta Utara 11 kelurahan, Jakarta Selatan 7 keluraha, Jakarta Barat 2 kelurahan dan Jakarta Pusat 1 kelurahan.

Kegiatan PSN di Jelambar Baru dihadiri Walikota Jakarta Barat H M Djoko Ramadhan beserta jajaranya, pejabat di lingkungan Pemprov DKI Jakarta serta ratusan warga. Pada kesempatan itu Gubernur maggelar dialog dengan warga, memberikan bantuan dan meninjau Puskesmas setempat.

140 Ibu Muda Dapat Layanan KB Gratis Kantor Keluarga Berencana (KKB) Jakarta Barat menggelar program Semarak KB di sejumlah wilayah kelurahan dan kecamatan. Program bertujuan untuk melayani pemasangan alat KB gratis bagi keluarga tak mampu yang diselenggarakan di puskesmas setempat demi menekan angka pertumbuhan penduduk yang terus melonjak.

Kegiatan yang paling akhir dilaksanakan KKB Jakarta Barat berlokasi di Puskesmas Palmerah I, kemarin. Sebanyak 140 ibu muda dari wilayah Kecamatan Palmerah mendapat layanan pemasangan alat kontrasepsi gratis. Layanan yang diberikan antara lain pemasangan implan, spiral IUD dan suntik. Petugas juga memberikan kondom gratis bagi pasangan yang membutuhkan.

“Dari Januari hingga April 2009, akseptor KB dari keluarga tak mampu di Jakarta Barat yang terlayani sudah mencapai 31.164 orang atau sekitar 38 persen dari target sebesar 81.151 orang,” papar Ratih Handayani, Kasubid Peran Serta Masyarakat Kantor Keluarga Berencana Jakarta Barat. Dia optimistis hingga akhir tahun nanti, pihaknya dapat melampaui target karena berbagai penyuluhan terus dilakukan di seluruh wilayah Jakarta Barat.

Salah satu akseptor yang menjalani pemasangan alat KB mengaku suaminya kurang peduli terhadap pentingnya ber KB. “Suami saya nggak sayang buang uang buat beli rokok, tapi kalau buat beli kondom alasannya nggak punya duit. Jadi, mumpung lagi gratis mendingan saya ber-KB supaya tidak banyak anak,” tutur Ny Nuriyah, warga Palmerah yang memiliki tiga anak kecil.

Menurut Ratih kesadaran kaum wanita terhadap perlunya mengikuti program KB jauh lebih baik dibandingkan pria. Namun masih banyak kalangan istri dari keluarga tak mampu kurang peduli terhadap KB sehingga pihaknya bersama kader di tingkat RT/RW, kelurahan maupun kecamatan harus bekerja keras menyadarkan mereka untuk merencanakan kelahiran anak. “Salah satu upayanya adalah menggelar program Semarak KB Jakarta Barat yang memberi layanan gratis kepada pasangan usia subur,” tambah Ratih.

Pihaknya sebenarnya juga melayani kaum suami yang mau ber KB dengan cara vasektomi, namun pesertanya sangat minim. “Selama empat bulan ini baru 18 pria yang mau menjalani vasektomi gratis, padahal targetnya 455 orang,” sebutnya. Jadi, penyuluhan KB kepada kaum suami harus lebih digalakkan. Padahal untuk vasektomi hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit, tidak berpengaruh pada hubungan seks, dan sewaktu-waktu bisa dilepas lagi.

Tamiflu Siap di tiap Puskesmas
Setelah melakukan penyemprotan desinfektan terhadap kandang tempat karantina rumah potong hewan (RPH) babi Kapuk, Cengkareng, berikut truk pengangkut dan babi yang baru datang dari daerah agar steril dari berbagai virus, Pemkot Jakarta Barat juga telah menyiapkan tamiflu (obat antivirus influenza yang oleh WHO direkomendasikan untuk penanganan infeksi virus flu burung) dari pemerintah di seluruh Puskesmas. Langkah tersebut sebagai antisipasi penularan virus flu babi, meski hingga kini kasusnya tidak ada di Indonesia.

”Setiap Puskesmas sudah diberikan sedikitnya 100 tablet tamiflu,” sebut Kasudin Kesehatan Jakarta Barat, Hj Yenuarti S Arfian, ketika dihubungi wartawan, Selasa (5/5). Menurutnya, selain melakukan pemantauan, pihaknya melalui petugas puskesmas akan memeriksa warga yang baru datang dari luar negeri termasuk para TKW (Tenaga Kerja Wanita). “Petugas Puskesmas diberikan pelatihan untuk meminta informasi warga yang baru tiba di tanah air dan kunjungannya ke luar negeri.”

Menanggapi limbah Rumah Potong Hewan (RPH) babi Kapuk, pihaknya sudah meminta pihak pengelola agar tidak membuang limbah pemotongan ke saluran air. Para pekerja jagal/pemotong babi juga diminta mengenakan kelengkapan peralatan.

Diungkapkan, saat tim gabungan Pemkot Jakbar yang melibatkan Sudin Kesehatan, Kantor Pengelola Lingkungan Hidup (KLH), Sudin Peternakan dan Perikanan, Puskesmas dan aparat wilayah setempat melakukan penelitian pada 28 April lalu, kondisi RPH cukup memprihatinkan.

Dipaparkan, bekas potongan babi termasuk darah dialirkan ke saluran air lingkungan warga, para pekerjanya tidak menggunakan masker, sepatu boot dan sarung tangan. ”Meskipun tidak menularkan virus flu babi, tapi bisa menimbulkan dampak lainnya. Dan flu babi ditularkan dari lendir dan bersin,” jelas Yeni.

Selain itu, Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di RPH tersebut juga sudah lama tidak berfungsi dan kolam penampungan limbahnya juga tak terawat. Padahal jumlah babi yang dipotong sekitar 450 ekor per hari, dari kebutuhan daging babi di DKI Jakarta yang mencapai 900 ekor per hari.

Terkait kasus Demam Berdarah Dengue (DBD), berdasarkan data Sudin Kesehatan Jakbar, periode Januari hingga April 2009 total kasus DBD sebanyak 1.377 kasus, 4 di antaranya meninggal dunia. Kecamatan Kebon Keruk masih tercatat sebagai kecamatan tertinggi DBD yakni 305 kasus, disusul Kecamatan Palmerah 268 kasus. Sedangkan Kecamatan Kalideres tercatat kecamatan dengan kasus terendah yakni 71 kasus.

Untuk itu, seluruh masyarakat diingatkan agar tetap mewaspadai DBD dengan cara menerapkan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) setiap hari. Ia juga mengimbau masyarakat tetap aktif melakukan aksi pemberantasan sarang nyamuk (PSN) di lingkungan masing-masing. “Jadi jangan hanya mengandalkan Jumantik (juru pemantau jentik) dan petugas saja," imbuhnya.

Dijelaskan, jentik nyamuk aedes aegypti bisa berkembangbiak dari genangan atau tempat penampungan air bersih seperti air kulkas, pot bunga dan lainnya. "Seperti di Kebon Jeruk yang banyak terdapat pedagang tanaman hias, karena setiap hari disiram bisa menimbulkan genangan di pot atau di daun tanaman hias. Untuk itu harus setiap hari dibersihkan,” jelas Yeni.

Pemkot Jakbar Semprot Desinfektan RPH babi Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Barat, Selasa (28/4) melakukan penyemprotan desinfektan terhadap kandang tempat karantina rumah potong hewan (RPH) babi, di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng. Selain kandang, petugas juga menyemprot truk pengangkut dan babi yang baru datang dari daerah agar steril dari berbagai virus. Langkah tersebut dilakukan sebagai salah satu antisipasi penyebaran virus flu babi.

Pemkot Jakarta Barat mengambil langkah cepat meski hingga saat ini tidak ada kasus flu babi di Indonesia. Selain menyemprot desinfektan, atas instruksi Walikota Jakarta Barat H M Djoko Ramadhan juga diterjunkan tim terpadu ke RPH babi Kapuk untuk melakukan penelitian menyeluruh termasuk permasalahan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL-nya).

Tim terpadu terdiri atas berbagai unsur, antara lain Sudin Kesehatan, Kantor Pengelola Lingkungan Hidup (KLH), Sudin Peternakan dan Perikanan, Puskesmas dan aparat wilayah setempat. Ketika memasuki bagian dalam RPH babi, tim terpadu dilengkapi masker, seragam khusus warna putih dan menggunakan sepatu boot. ”Petugas akan melakukan pengecekan rutin terhadap babi yang datang ke RPH untuk dipotong,” ujar Kasudin Peternakan dan Perikanan Jakbar, Kusdiana.

Kepala KLH Jakarta Barat Yosiono Supalal, mengungkapkan berdasarkan hasil penelitian pekan lalu, IPAL di RPH babi Kapuk sudah lama tidak berfungsi. Pihaknya mendapati IPAL di RPH babi itu sudah ditumbuhi alang-alang setinggi 30 centimeter, kolamnya dicemari kotoran dan pompa yang ada tak bergfungsi. ”Jika berfungsi tidak akan ada rumput dan tidak menimbulkan pencemaran bau yang tidak enak,” jelas Yosi didampingi Lurah Kapuk, Junaedi.

Atas temuan itu pihaknya telah memberikan peringatan kepada pengelola RPH babi untuk segera memperbaiki IPAL-nya. Jika tak dilakukan, akan diberikan sanksi administratif dan penutupan IPAL. ”Kami sudah buat berita acara yang ditandatangani Kepala RPH, diberi waktu satu bulan untuk membenahi IPAL. Setelah itu limbah cairnya akan dicek kembali di lab, jika tak memenuhi standar baku mutu akan ditutup IPAL-nya,” papar Yosi.

Terkait virus flu babi, Kasudin Kesehatan Jakbar Yenuarti, menjelaskan meski saat ini di Indonesia kasusnya tidak ada namun masyarakat diminta tetap mewaspadainya. “Gubernur berpesan masyarakat jangan panik, namun harus tetap mewaspadainya,” ujar Yeni. Selain itu, ia mengimbau seluruh masyarakat agar menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) untuk menghindari serangan berbagai virus, termasuk virus babi. “PHBS cara paling sederhana dan efektif untuk menghindari berbagai ancaman penyakit.”

Sementara itu, Kepala RPH babi Kapuk, Widanardi, menyebutkan babi yang dipotong berkisar 450 ekor per hari. Daging babi tersebut untuk kebutuhan seluruh DKI Jakarta yang mencapai 900 ekor per hari, selebihnya dari daerah lain. Menurutnya, babi yang masuk ke RPH itu umumnya berasal dari Yogyakarta dan Jawa Tengah termasuk Purwokerto dan Tegal, sisanya dari Medan, Pontianak dan lainnya. Babi-babi yang baru datang dikarantina terlebih dulu maksimal tiga hari sebelum dipotong. ”Ada dua tempat karantina dengan kapasitas 1.000 ekor,” sebut Widanardi.

Gubernur Imbau Warga Tak Mampu Urus Dokumen Kesehatan Untuk memudahkan pelayanan kesehatan, segenap warga DKI Jakarta khususnya yang kurang mampu diimbau mempersiapkan dokumen yang diperlukan sejak dini. Hal tersebut disampaikan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, terkait keluhan warga yang kesulitan mendapat pengobatan gratis di rumah sakit karena tak memiliki kartu Keluarga Miskin (Gakin) maupun Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

Untuk itu bagi warga kurang mampu diminta segera mengurus dokumen yang diperlukan, sehingga saat salah satu anggota keluarga ada yang sakit dan membutuhkan pengobatan tidak kerepotan. "Jangan sampai baru mempersiapkan dokumen saat sudah sakit parah, karena akan sangat merepotkan," imbuh Gubernur, saat monitoring dan evaluasi pemberantasan sarang nyamuk (PSN) 30 menit, di Jl Kali Irigasi, RW 03, Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jumat (24/4) pagi.

Gubernur juga meminta seluruh warga DKI senantiasa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di lingkungan masing-masing. Menurutnya, dengan PHBS segala jenis penyakit bisa diminimalisir. Caranya antara lain dengan menjaga kebersihan lingkungan, aktif melakukan PSN dan mengkonsumsi makanan yang sehat. "Melakukan pencegahan sebenarnya pengobatan penyakit yang paling efektif,” ujar Gubernur didampingi Walikota Jakarta Barat H M Djoko Ramadhan dan pejabat lainnya.

Pada kesempatan itu, Dien Emawati, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, juga mengimbau seluruh warga DKI Jakarta tetap mewaspadai ancaman penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) karena masa endemi diperkirakan masih akan berlanjut hingga Mei mendatang. "PSN di tiap lingkungan harus terus ditingkatkan," ujarnya.

Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI, jumlah kasus DBD di wilayah DKI Jakarta periode Januari-April 2009 mencapai 10.471 kasus dengan jumlah meninggal mencapai 22 orang. Kasus tertinggi di Jakarta Timur yakni 3.167 kasus. Diikuti Jakarta Selatan 2.598 kasus, Jakarta Utara 2.151 kasus, Jakarta Barat 1.290 kasus dan Jakarta Pusat 1.265 kasus.

Sementara itu, saat sesi dialog, warga Kelurahan Kapuk mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng yang dinilai kurang memperhatikan pasien dari kalangan tidak mampu. Menurut warga, pihak RSUD Cengkareng sering menolak warga yang ingin berobat dengan alasan terbatasnya kapasitas rumah sakit.

"Kami ingin tahu, sebenarnya RSUD Cengkareng itu milik swasta atau pemerintah sih, kok kita sering kesulitan kalau mau berobat," keluh Endang, salah seorang warga Kapuk. Menurutnya, selama ini banyak warga Kapuk khususnya yang kurang mampu ditolak berobat di RSUD Cengkareng.

Akibatnya, sambung Endang, berbagai pertanyaan sering muncul antara lain tentang status RSUD Cengkareng, apakah milik pemerintah atau milik swasta. "Kalau milik pemerintah seharusnya mengutamakan pasien yang kurang mampu seperti kebanyakan warga di Kapuk," tukas Endang yang juga menjabat sebagai Ketua PKK Kelurahan Kapuk.

Ia mengaku keluhan terkait RSUD Cengkareng sengaja disampaiakan kepada Gubernur agar persoalan warga kurang mampu yang sering ditolak berobat bisa secepatnya teratasi. "Kami berharap setelah Gubernur mengetahui banyak warga yang ditolak saat berobat, perlakuan RSUD Cengkareng bisa berubah.”

Menanggapi keluhan tersebut, Dirut RSUD Cengkareng Nur Abadi yang turut hadir pada acara tersebut membantah pihak RSUD Cengkareng menolak warga kurang mampu yang hendak berobat. Kalaupun ada warga yang tidak diterima berobat, penyebabnya tidak lain karena terbatasnya kapasitas RSUD Cengkareng. Ia mengungkapkan selama ini jumlah pasien yang berobat memang jauh melebihi kapasitas rumah sakit. "Kita tidak pernah berniat menolak pasien yang berobat ke RSUD Cengkareng. Tapi kebetulan kapasitasnya memang terbatas," kata Nur Abadi.

Warga Kebon Jeruk Bertekad Hapus Predikat Zona Merah DBD Bertekad melepas predikat zona merah DBD yang jadi langganan tiap tahun, aparat dan warga Kelurahan Kebon Jeruk, Kecamatan Kebon Jeruk Jakarta Barat menggalakkan aksi pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Rumah yang ditemukan ada jentik nyamuk aedes aegypti dekberikan sanksi berupa denda membeli pohon lavender dan dipasang bendera bergambar nyamuk.

Sebanyak 130 petugas juru pemantau jentik (jumantik) makin aktif mendatangi rumah-rumah warga. Jika ada jentik, mereka langsung melapor ke RT/RW maupun kelurahan untuk diberikan tindakan. “Hingga saat ini sudah terdapat 40 warga yang dikenakan denda membeli pohon pengusir nyamuk dan dipermalukan rumahnya dipasangi bendera nyamuk,” ungkap Lurah Kebon Jeruk, M Yahya, pada acara penyuluhan terhadap kader jumantik dari seluruh RT/RW, kemarin.

Menurutnya, sejak diterapkan aturan internal RT/RW tersebut, jumlah kasus DBD di wilayahnya menurun drastis. Padahal sebelumnya tiap tahun wilayah ini selalu masuk peringkat pertama di tingkat kota Jakarta Barat dalam jumlah terbesar penderita DBD. “Memang wabah DBD di sini belum bisa diberantas sampai tuntas. Berdasarkan data dari Januari hingga April 2009, masih terdapat 40 kasus. Tapi dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu jumlahnya mencapai 211 kasus,” tambah Yahya.

Perangkat lurah beserta petugas jumantik dan tokoh masyarakat optimistis dapat melepas predikat zona merah DBD. “Warga makin sadar pentingnya melakukan PSN di lingkungan masing-masing, minimal tiap Jumat pagi,” kata Hadi, petugas jumantik yang dapat honor Rp 17.500per minggu. Ia juga mengusulkan untuk memberantas jentik di saluran air dapat dilakukan menggunakan strum aki, seperti orang mencari ikan. “Hasilnya sangat efektif, tapi butuh modal cukup mahal. Barangkali bisa diusahakan kelurahan atau sumbangan donatur,” tambahnya.

Selain itu, maraknya kasus DBD di wilayah ini diperkirakan banyaknya pot kembang teratai yang menggunakan air sehingga jadi sarang nyamuk. Mestinya, para petani pedagang tanaman hias di wilayah itu diwajibkan menaruh ikan cere atau cupang sawah di tiap pot berair.

Ia menjelaskan, bukti bahwa pihak RSUD Cengkareng tidak menolak pasien antara lain disediakanya 25 tempat tidur bagi pasien yang memiliki SKTM dan kartu Gakin. Selain itu pihaknya juga menyediakan 5 alat cuci darah bagi pasien tidak mampu, serta 5 ruang gawat darurat bagi pasien anak-anak. Bahkan RSUD Cengkareng berencana menambah kapasitas tempat tidur, dari 250 yang ada saat ini menjadi 350 tempat tidur. Dengan penambahan itu, tentunya jatah bagi pasien kurang mampu bisa bertambah. "Mudah-mudahan pada tahun 2010 nanti rencana itu sudah bisa terealisasi," harap Nur Abadi

Liputan : AJI