Informasi lainnya lihat ke atas, silahkan pilih sesuai tahun penerbitan

Selamat datang di Kelurahan Sukabumi Utara

Kamis, 20 Agustus 2009

Sosialisasi Kesehatan bagi Keluarga Miskin DKI Jakarta

KEBIJAKAN – KEBIJAKAN KESEHATAN UNTUK KELUARGA MISKIN
Sumber : Juknis Pelayanan gakin, Dinkes Prov DKI Jakarta, 19 Agustus 2009

1. KEBIJAKAN KEPESERTAAN
I. Peserta dalam program ini adalah pasien keluarga miskin, pasien kurang mampu dan pasien korban bencana atau pasien kejadian luar biasa di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakartamelip meliputi lima wilayah administratif kotamadya dan kabupaten administratif Kepulauan Seribu yaitu :

a. Keluarga miskin yang terdaftar dalam data kemiskinan Badan Pusat Statistik;
b. Pemegang kartu (Gakin, BLT, Raskin, Program Keluarga Harapan,kader) dan Program Pemerintah Lainnya;
c. Pasien penghuni Panti Sosial / Rumah Singgah ( bukan karyawan ) yang diusulkan Dinas Bintal dan Kesos Provinsi DKI Jakarta, memiliki sertifikat panti dan kepesertaan bersifat kolektif ;
d. Pasien orang Terlantar yang diusulkan Dinas Bintal dan Kesos Provinsi DKI Jakarta atau yang ditemukan di Provinsi DKI Jakarta;
e. Pasien Korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak/ KDRT;
f. Kriteria tertentu sebagai penghargaan atas jasanya kepada masyarakat seperti
pendonor darah yang telah mendonorkan darahnya lebih dari 75 kali (Anggota Fokuswanda); Veteran Pejuang Kemerdekaan.
g. Pasien dengan Surat Keterangan Tidak Mampu ( SKTM ) verifikasi miskin atau verifikasi kurang mampu;
h. Pasien Korban Bencana / Pasien KLB ( DBD, Diare, Gizi Buruk, AFP, Flu Burung, Leptospirosis, Cikungunya dll );

II. Apabila masih terdapat penduduk miskin yang belum masuk kedata BPS terbaru maka dapat diusulkan melalui Dinas Kesehatan yang kemudian diserahkan ke Bapeda dan akan disurvey oleh BPS

III. Sebelum dilakukan pencetakan kartu gakin data BPS tersebut akan diverifikasi ulang untuk memastikan keberadaannya,setelah kartu terbit diserahkan ke Suku Dinas Kesehatan yang kemudian diteruskan ke Puskesmas Kelurahan untuk dibagikan kepada yang bersangkutan, apabila terjadi ketidak sesuaian sasaran kepesertaan maka kartu wajib dicabut.

IV. Apabila terjadi kesalahan atau kekurangan nama maupun anggota keluarga pada kartu peserta maka dapat dilakukan revisi kartu dengan membawa surat pengantar dari Puskesmas Kelurahannya untuk direvisi ke Dinas Kesehatan

V. Puskesmas kelurahan diharuskan membuat laporan ke Sudin Kesehatan dan Sudin Kesehatan ke Dinas Kesehatan tentang jumlah kartu yang telah didistribusikan,kartu yang rusak, kartu dengan salah alamat maupun nama peserta.


2. KEBIJAKAN PELAYANAN KESEHATAN

a. Sistem JPK Gakin menggunakan pendekatan JPKM yang menerapkan sistem kendali biaya dan pelayanan yang efektif yang diberikan secara berjenjang dan bersifat komprehensif yang meliputi ;

1.Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) :Dokter umum,Dokter gigi, Bidan
2.Rawat Inap di Puskesmas :Persalinan
3.Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL) :Dokter Spesialis
4.Rawat Inap kelas III di RSUD/RS Pemerintah / RS TNI/POLRI/ RS Swasta di Provinsi DKI Jakarta dan RS di luar DKI Jakarta.
5.Pelayanan Ambulans Dinas Kesehatan


b. Persyaratan yang Wajib dibawa oleh pasien :
• Pasien Kartu :
-Kartu Gakin,Raskin,BLT,PKH,KaderKesehatan ( Program Pemerintah lainnya )
- Rujukan.
• Pasien SKTM :
- SKTM yang ditanda tangani oleh kelurahan tempat tinggal pasien.
- Rujukan
• Pasien Panti / Rumah Singgah
- Surat keterangan kepala panti/Rumah Singgah.
- Foto copy sertifikat panti.
- Rujukan
●Orang terlantar :
- Surat keterangan dari direktur RS atau
- Surat keterangan dari Kepolisian atau
- Surat keterangan dari Dinas Bintal dan Kessos.
- Rujukan
• Pasien Yayasan Thalasemia / Yayasan Jantung Anak :
- Kartu anggota Yayasan Thalasemia / Yayasan Jantung Anak
- KTP
- Rujukan
● Penghargaan / Anggota Fokuswanda / Veteran Kemerdekaan :
- Kartu identitas / Surat Keterangan / Sertifikat
- Surat pengantar dari Puskesmas Kelurahan setempat
- Rujukan
● Korban Bencana :
- Surat pengantar dari Posko bencana / RT/RW/Puskesmas
- Penduduk DKI dan Penduduk Luar DKI
- Surat keterangan dari Ambulan Dinas Kesehatan
- Rujukan
● Pasien Kejadian Luar Biasa Penyakit :
- Rujukan Puskesmas ( tanpa rujukan jika di IGD / Emergency)
- Penduduk DKI dan Penduduk Luar DKI
- Rujukan
● Korban Tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak sampai usia 18 tahun:
- Rujukan Puskesmas / kecuali jika Emergency tidak perlu rujukan
- Surat Keterangan Dari Kepolisian
- Penduduk DKI dan Penduduk Luar DKI

c. Pasien emergency wajib dilayani oleh Puskesmas Kecamatan / Kelurahan dan Rumah Sakit. Bagi Rumah Sakit yang belum melakukan Ikatan Kerjasama ( IKS ) hanya melayani kasus – kasus emergency dan bila perlu perawatan, maka dirujuk ke rumah sakit lain yang melayani Gakin, untuk informasi tempat tidur dapat menghubungi PUSDALDUKES ( Telepon : 34835118 ) untuk bantuan Ambulan dapat menghubungi Ambulan Gadar Dinkes Telepon : 65303118.

d. Pasien rawat jalan harus melalui Puskesmas,apabila diperlukan dapat dirujuk ke Rumah Sakit. Pasien Emergency dapat langsung melalui IGD dilayani tanpa rujukan Puskesmas cukup dengan KTP.Jika pasien langsung pulang kelengkapan tagihannya cukup dengan surat keterangan Direktur Yanmed RS/ Dokter Jaga IGD. Jika pasien perlu dirawat maka diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan selama 3 x 24 jam hari kerja . Pasien yang langsung ke Poliklinik dianggap pasien umum.

e. Rujukan Puskesmas berlaku 1 bulan untuk penyakit non kronis, untuk penyakit kronis 3 bulan.

f. Pasien pasca rawat inap penyakit Kronis diberi kesempatan untuk kontrol 2 kali di Rumah Sakit tanpa rujukan cukup dengan rencana kontrol dari dokternya selanjutnya dapat dilakukan di Puskesmas.Untuk penyakit non kronis, kontrol di Puskesmas. Rumah Sakit wajib mengembalikan pasien pasca rawat inap ke pada Puskesmas untuk dilakukan pemantauan.

g. Pembuatan Jaminan rawat dilaksanakan di Suku Dinas Kesehatan 5 wilayah Kota Administratif sesuai domisili pasien, KECUALI Pembuatan Jaminan untuk Orang Terlantar / Panti dibuat di DINAS KESEHATAN.

h. Jaminan rawat diberikan sejak pasien / rumah sakit mengajukan surat jaminan. Pengurusan surat jaminan dilakukan oleh keluarga pasien dengan membawa surat pengantar dari rumah sakit. Keterlambatan permintaan jaminan oleh rumah sakit disertai dengan surat keterangan direktur rumah sakit yang menjelaskan tentang alasan keterlambatan. Lama jaminan rawat disesuaikan dengan kondisi pasien. Khusus jaminan rawat bagi pasien di RS Jiwa dan Hemodialisa lamanya 30 hari ( 1 bulan ).

i. Dalam keadaan darurat apabila kelas III penuh, pasien dapat ditempatkan di kelas II maximal 2 x 24 jam, bila lebih dari waktu yang ditentukan maka pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit lainnya atau karena alasan kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk dipindahkan, maka harus dengan persetujuan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

j. Bila diperlukan pemeriksaan penunjang dengan Ambulan ke Rumah Sakit lain maka diwajibkan Rumah Sakit membuat surat rujukan ke Rumah Sakit yang dituju, dilengkapi dengan persyaratan administrasi. Penggunaan Ambulan Dinas Kesehatan harus sesuai dengan indikasi medis, sebagai bukti harus disertai stempel dari Rumah Sakit asal dan stempel dari Rumah Sakit penerima pasien rujukan .Rumah Sakit wajib melayani pasien rujukan dari Rumah Sakit lain.

k. Verifikasi dilakukan untuk memperkuat SKTM yang diterbitkan oleh Lurah. Verifikasi dilakukan oleh Tim Desa yang terdiri dari RT/RW atau TIM PKK RW dan Petugas Puskesmas dengan meninjau langsung ke tempat tinggal pasien bukan hanya dengan wawancara.

l. Surat Keterangan Tidak Mampu ( SKTM ) dan hasil verifikasi tempat tinggal berlaku 1 tahun dapat diperbaharui kembali bila masih diperlukan. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang asli dipegang oleh pasien sedangkan Rumah Sakit cukup foto copy .( yang asli tetap diperlihatkan ke rumah sakit ).

m. Bila tempat tinggal pasien tidak sesuai KTP maka cukup dengan surat keterangan domisili yang diterbitkan oleh RT/RW setempat. Verifikasi dilakukan oleh Puskesmas dimana pasien tinggal saat ini.

n. Sehubungan kasus melahirkan lama hari rawatnya tidak lebih dari 2 hari maka persyaratan administrasi kasus melahirkan cukup dengan surat pernyataan RT/RW /SKTM tanpa verifikasi lapangan.

o. Melahirkan tanpa pernikahan bukan karena tindak pemerkosaan tidak ditanggung. Melahirkan tanpa surat nikah( NIKAH SIRI ) hanya dijamin 50 %. Kelahiran melebihi 4 anak maka pada kelahiran terakhir disarankan untuk dilakukan TUBEKTOMI.

p. Bayi yang dilahirkan kemudian ditinggal ibunya dianggap sebagai bayi terlantar, oleh karenanya Rumah Sakit harus melaporkan ke Polisi dan kemudian diserahkan ke Panti.

q. Sudin Kesehatan sesuai dengan tupoksinya harus melakukan BINWASDAL ke Rumah Sakit dan Puskesmas di wilayahnya, melakukan Monitoring dan Evaluasi serta menindaklanjuti keluhan masyarakat dan melaporkan semua kegiatan tersebut ke Dinas Kesehatan.

r. Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta sebagai regulator membantu wilayah dalam pembuatan kebijakan tentang pelaksanaan Pogram JPK Gakin serta membantu menyelesaikan permasalahan- permasalahan yang ada.

s. Pasien Tunawisma dan Pasin Terlantar yang tidak mempunyai identitas, harus dilengkapi dengan surat keterangan dari Direktur Rumah Sakit atau pejabat yang berwenang, yang berguna sebagai pengganti SKTM yang dikeluarkan oleh RT/RW dan Lurah. Pada kasus tertentu seperti kecelakaan ada keterangan dari polisi.



t. Pelayanan kesehatan yang tidak dijamin / tidak ditanggung :
1. Pelayanan yang tidak sesuai prosedur
2. Pelayanan atau perawatan yang berkaitan dengan kosmetik ( bedah plastik,orthodontie dll )
3. Medical Check Up ( MCU )
4. Vitamin atau Suplemen tanpa indikasi medis
5. Pengobatan Alternatif / Tradisional
6. Pengguguran Kandungan tanpa indikasi medis
7. Hamil diluar pernikahan
8. Pelayanan yang berkaitan infertilitas dan kesuburan
9. Bunuh diri
10.Pelaku tindak kriminal

u. Rumah Sakit / Puskesmas /Ambulan, wajib membuat informasi prosedur pelayanan bagi keluarga miskin dan kurang mampu, menyiapkan kotak Pengaduan Masyarakat serta catatan pengaduannya dan tidaklanjutnya.

v. Ambulan Dinas Kesehatan hanya diperuntukkan untuk membawa pasien yang menderita sakit BUKAN untuk MEMBAWA JENAZAH.


3. KEBIJAKAN PEMBIAYAAN KESEHATAN

a. Pembiayaan untuk pelaksanaan Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bagi keluarga Miskin, Kurang Mampu dan Bencana bersumber dari dana APBD

b. Penggunaan dana pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin, kurang mampu dan Bencana meliputi :

1.Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP)
2.Rawat Inap di Puskesmas
3.Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL)
4.Rawat Inap kelas III di RSUD/RS Pemerintah/RS Swasta yang ber IKS dengan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta
5.Ambulan Dinas Kesehatan .

c. Pasien dengan Kartu Gakin, Raskin, Bantuan Langsung Tunai, Program Keluarga Harapan ( Bantuan Program Pemerintah lainnya ) dan Panti yang bersertifikat, Orang Terlantar, KDRT, Kader, KLB serta Becana DIBEBASKAN dari biaya JIKA BEROBAT KE PUSKESMAS, Rumah Sakit dan pemakaian Ambulan

d.. Pasien yang dinyatakan dalam keadaan KLB ( DBD,Gizi Buruk,Diare Berat ) serta bencana serta dirawat di kelas III di 17 Rumah Sakit, dibebaskan dari biaya. Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga ( KDRT ) dilayani di semua Rumah Sakit yang IKS di kelas III bebas biaya.

e. Pasien dengan SKTM mendapat keringanan 50 %. Bila pasien SKTM tidak dapat membayar 50 % dapat diringankan sampai dengan pembebasan.

f. Surat Pernyataan Pembebasan Biaya, diperuntukkan bagi SKTM yang mengalami kendala biaya. Surat Pembebasan ini HANYA berlaku untuk satu kasus penyakit dan berlaku disemua rumah sakit yang IKS. Surat pernyataan pembebasan biaya dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

g. Uang muka yang telah dibayarkan pada saat pasien SKTM masuk Rumah Sakit tidak dapat dikembalikan walaupun mendapat jaminan bebas biaya kecuali pasien dengan Kartu Gakin, Raskin, BLT,PKH.

h. Biaya penggantian jasa Ambulan Dinas Kesehatan harus disertai dengan surat pengantar dan stempel dari Rumah Sakit asal serta stempel dari rumah sakit penerima pasien rujukan. Biaya penggantian jasa Ambulan Dinas Kesehatan hanya diperuntukkan untuk pasien dan BUKAN untuk MEMBAWA JENAZAH ( tugas dari Dinas Pemakaman ).

i. Dalam keadaan darurat apabila kelas III penuh maka pasien dapat ditempatkan di kelas II maximal 2 x 24 jam, bila lebih dari waktu yang ditentukan maka pasien segera dirujuk ke Rumah Sakit lainnya atau karena alasan kondisi pasien yang tidak memungkinkan untuk dipindahkan maka akan dibayar sesuai tarif kelas II dengan persetujuan Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

j. Pembiayaan kesehatan Program JPK Gakin di Rumah Sakit mengacu Paket Pelayanan Esensial (PPE). Katastropik diajukan jika diagnosa tidak terdapat dalam PPE atau pembiayaannya melebihi PPE untuk kasus tertentu. Pengajuan Katastropik selambat – lambatnya 1 minggu. Lama Pembuatan Katastropik selambat-lambatnya 10 hari.

k. Pemakaian obat mengacu kepada ketentuan yang telah ditetapkan (Menggunakan obat Generik, DPHO, Formularium atau penggantinya sesuai dengan indikasi medis jika tidak ada generiknya maka dapat digantikan dengan obat non generik dengan harga terendah dikelasnya yang mempunyai efek farmakologi yang sama.

l. Dalam hal pemakaian obat maka komite medik Rumah Sakit dituntut untuk lebih selektif dalam memberikan persetujuan obat . Setiap obat non generik harus ditanda tangani oleh komite mediknya. Jika tidak ada tanda tangan tersebut maka obat tidak dapat dibayarkan. Persetujuan obat dan tindakan tidak lagi melalui Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tetapi menjadi tanggung jawab Rumah Sakit.

m. Pasien yang telah menerima pemberian obat dan tindakan pada saat dirawat , harus menandatangani bukti penerimaan obat dan tindakan.

n. Batas maximal pembiayaan suatu kasus khusus di Rumah Sakit Khusus ( Jantung, Kanker, Cuci Darah ,Operasi, ICCU )Rp 100.000.000,- Untuk kasus lainnya sesuai dengan batas maximal yang disetujui oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta yang tercantum dalam PPE, surat Katastropik / usulan penambahan biaya.

o. Selisih PPE /Katastropik tidak dapat dibayarkan dan menjadi tanggungan Rumah Sakit.

p. Tagihan Rumah Sakit, Puskesmas dan Ambulan diajukan ke Dinas Kesehatan selambat – lambatnya 1 bulan sejak bulan pelayanan. Pekerjaan verifikasi selambat-lambatnya 2 bulan dari diterimanya berkas tagihan.Tagihan Rumah Sakit yang tertunda karena ketidak lengkapan berkas, akan dikembalikan. Pengembalian berkas setelah dilengkapi paling lambat 3 minggu.

q. Pengajuan tagihan yang melebihi batas waktu yang telah ditentukan harus dengan permohonan tertulis dari Direktur Rumah Sakit disertai alasan keterlambatannya.

r. Pembiayaan kesehatan di Puskesmas bersumber APBD dan APBN, Dana APBD diperuntukkan bagi keluarga miskin Provinsi DKI Jakarta, yang mempunyai KARTU GAKIN. Pembiayaannya secara KAPITASI, pembayarannya setiap 3 bulan sekali dengan rumus, jumlah peserta x 3 bulan x besarnya kapitasi. Besarnya kapitasi Rp 700,- Besarnya Kapitasi ditentukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta.

s. Pelayanan kesehatan diluar paket kapitasi yang dilaksanakan di Puskesmas seperti ODC, Partus, Laboratorium, Poli Spesialis dan Rontgen dilakukan secara fee for service dengan mengacu pada tarif Perda yang berlaku sebagai Non Kapitasi.

t. Dana APBN dengan Program Jamkesmas, dananya langsung ke rekening puskesmas, diperuntukkan bagi :
1. SKTM DKI dan Luar DKI Jakarta
2. Peserta Jamkesmas,Askeskin,Raskin,BLT,PKH,Kader
3. Panti dan Yayasan
4. KDRT
5. Orang Terlantar
6. Pasien KLB

u. Peruntukan Dana Jamkesmas tahun 2009 :
1. Rawat Jalan di Puskesmas
2. Rawai Inap di Puskesmas
3. Pelayanan Persalinan di Puskesmas,Bidan Praktek,Rumah Bersalin
4. Pelayanan Spesialistik Puskesmas
5. Pelayanan Rujukan
6. Upaya Kesehatan Pencegahan Sekunder
7. Manajemen Pengelolaan
Lebih jelasnya dapat dilihat pada Juklak Juknis JPK MM dari Departemen
Kesehatan RI.

v. Pemegang Kartu Gakin dan SKTM yang sedang dirawat di Rumah Sakit diluar Provinsi DKI Jakarta maka dapat ditagihkan sesuai tarif dengan menyertakan bukti tindakan

w. Alat habis pakai untuk jenazah kasus Flu Burung dan HIV AIDS ditanggung oleh Dinas Kesehatan. Kasus Flu Burung ditanggung sampai dengan peti jenazah.

x. Pemulasaran jenazah orang terlantar dan Gakin diserahkan ke Dinas Pemakaman Provinsi DKI Jakarta. Otopsi jenazah bagi keluarga miskin tidak di tanggung oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta

y. Tagihan Rumah Sakit dan Puskesmas akan dibayarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta setelah ada berita acara hasil verifikasi ( BAP ). Bila terjadi kelebihan pembayaran tagihan maka pembayaran tagihan berikutnya akan dipotong sebesar kelebihan pembayaran yang lalu.

z. Batas akhir pembayaran pada tanggal 15 Desember tahun berjalan. Pelayanan diatas tanggal 15 Desember tahun berjalan , tagihan dan pembayarannya akan dibayarkan pada anggaran tahun berikutnya . Pembayaran tagihan pada anggaran tahun berikutnya adalah tagihan pada bulan November, Desember dan tagihan tertunda.


I. Agar tidak mengganggu operasional Rumah Sakit maka Dinas Kesehatan segera :
a. membuat SK Gubernur tentang pembiayaan Program JPK Gakin
b. membuat surat permohonan percepatan pembayaran JPK Gakin
dengan kebutuhan dana minimal sesuai dengan BAP yang sudah
diverifikasi

II. Persyaratan tagihan yang harus dilengkapi oleh Rumah Sakit /Puskesmas
dan Ambulan untuk pelayanan Gakin/SKTM :
a. Rekap pasien dengan format yang telah ditentukan
b. Rekap rincian biaya pelayanan ( asli ) yang ditanda tangani oleh Ka.Bag Keuangan dan Pasien dengan nama jelas.
c. Surat Jaminan Pelayanan ( SJP ) dari Dinas Kesehatan.
d. Bukti tindakan, resep, laboratorium dll dengan tanda tangan /paraf penanggung jawabnya.
e. Paraf dari pasien sebagai bukti pasien menerima obat dan tindakan
f. Rujukan ke RS dari Puskesmas,RS ke RS kecuali jika Emergency / IGD tanpa rujukan
g. Resume ( foto copy ) dan Katastropik jika melebihi PPE

III. Bagi KORBAN BENCANA / KLB / KORBAN TINDAK
KEKERASAN :
a. Surat pengantar dari Posko bencana banjir / kebakaran /
Kepolisian
b. Rujukan Puskesmas kecuali Emergency bisa tanparujukan/
pengantar.
c. Foto Copy KTP DKI / Luar DKI Jakarta bagi KDRT dan penyakit jika pada saat kejadian pasien terserang di DKI Jakarta bukan pasien yang khusus datang dari luar DKI Jakarta
d. Rekap pasien dengan format yang telah ditentukan.
e. Rekap rincian biaya pelayanan ( asli ) yang ditanda tangani oleh Ka.Bag Keuangan dan Pasien dengan nama jelas
f. Bukti tindakan, resep, laboratorium, dll dengan tanda tangan /paraf penanggung jawabnya.
g. Paraf dari pasien sebagai bukti pasien menerima obat dan tindakan
h. Resume ( foto copy )
i. Visum jika ada utk Korban tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak


IV.Pemberi Pelayanan Kesehatan ( Puskesmas, Rumah Sakit dan Ambulan ) bertanggung jawab terhadap setiap tagihan yang diajukan. Pemeriksaan dan Pengawasan dilakukan oleh BAWASDA , BPKP dan BPK.

Rabu, 05 Agustus 2009

Kekerasan dalam Rumah Tangga

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
PENULIS : MUHAMMAD ALI, SKM

Dewasa ini masyarakat khususnya keluarga belum banyak menyadari bahwa sesungguhnya kejadian KDRT sangat banyak di sekitar kehidupan keluarga seperti contohnya ketika suami berkata kasar atau perilaku suami menciptakan rasa takut bagi istri dan anak, maka ini sesungguhnya sudah dapat digolongkan ke dalam KDRT, atau penelantaran orang tua terhadap anak seperti yang terjadi di kota-kota besar termasuk penyertaan anak dalam mencari nafkah sehingga hak bermain dan belajar menjadi hilang sesungguhnya juga merupakan KDRT dan korban mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika korban atau ada pihak yang melaporkan kejadian tersebut pada pihak berwajib.
Gencarnya peranan media massa dalam pemberitaan KDRT turut membantu terbukanya tabir kekerasan dalam rumah tangga walaupun lingkup pemberitaan biasanya berkisar “kasus besar” dan seringkali hanya seputar rumah tangga public vigur / artis misalnya, namun setidaknya sudah dapat membangun kesadaran bersama, bahwa masyarakat khususnya keluarga perlu mendapat perlindungan hukum terutama bagi anak dan perempuan yang dominan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-undang perkawinan 1974 semestinya melindungi pasangan suami istri dengan hak dan kewajiban yang sesuai dengan harkat dan martabatnya bukan sesuai dengan “kodratnya”, karena kata “kodrat” sering disalah artikan sehingga istri menjadi pihak yang selalu lemah dan dirugikan. Banyak pihak sepakat bahwa undang-undang perkawinan secara jelas telah mengakomodir “poligami” dengan syarat ijin dari istri namun ketika syarat itu dilanggar belum ada sangsi yang diberlakukan secara tegas.
Undang-undang yang mengatur poligami dan perceraian “dihalalkan” jika istri tidak memberikan keturunan menempatkan posisi perempuan menjadi satu-satunya tumpuan kesalahan, padahal secara medis banyak faktor yang mempengaruhi keluarga untuk mendapatkan keturunan diataranya faktor suami, baik faktor fisik maupun faktor psikologis.
Berlakunya uu no.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sedikit banyak diharapkan merupakan jaminan berkurangnya kasus KDRT meskipun masih terdapat pasal-pasal yang perlu dikaji karena kurang tegas upaya penanganan korban, pasal dengan potensi beda penafsiran, serta pasal yang tidak tegas mendorong masyarakt untuk melaporkan pelaku KDRT tidak seperti halnya undang2 psikotropika yang secara tegas mengharapkan laporan dari masyarakat serta sangsi2 bagi masyarakat yg tidak melapor.

1. Kultur Masyarakat Indonesia
Seringkali laporan kejadian KDRT oleh korban kepada pihak berwajib sudah pada kejadian KDRT tahap yang kronis, korban melaporkan jika nyawanya sudah hampir diujung tanduk dimana penderitaan yang dialami sudah berulang-ulang, ironisnya lagi sebagian besar pelapor pada akhirnya mencabut laporannya karena merasa kasihan atau mungkin merasa terancam akibat laporannya tersebut. Ada banyak faktor yang mengakibatkan korban enggan untuk melaporkan KDRT yang dialaminya diantaranya :

a. Kultur Patriakhi, yang menempatkan laki-laki/suami sebagai penguasa dalam rumah tangga, suami yang berhak mengambil keputusan dalam rumah tangga yang mengakibatkan posisi perempuan/istri “nrimo”, “manut”, sehingga pada tahap yang lanjut bahkan mengarah pada rasa takut yang berlebihan pada suami.

b. Seringkali kejadian atau persoalan KDRT yang dialami perempuan berujung pada penyelesaian di tingkat agama saja dan dengan “penyalahtafsiran” pada akhirnya mendudukan wanita pada kondisi harus patuh terhadap suami, istri harus menjaga aib rumah tangga sehingga tidak perlu membicarakan persoalan rumah tangga pada orang lain.

2. Peran Serta Masyarakat
Faktor kultural yang secara psikologis menyebabkan korban enggan melaporkan KDRT yang dialaminya, maka salah satu yang diharapkan dapat menegakan “keadilan” adalah adanya Peran serta masyarakat sekitar yang mengetahui, melihat kejadian KDRT namun kenyataannya masyarakat sekitarpun masih berpikir dua kali untuk melapor kejadian KDRT dikarenakan factor kultur ternyata juga mempengaruhi masyarakat, sebagaian masyarakat masih mempercayai bahwa kasus KDRT adalah persoalan internal keluarga dan keluargalah yang harus menyelesaikannya.
Ironisnya ketika korban tidak mampu untuk melapor ternyata masyarakat juga tidak memiliki alasan kuat untuk melapor sehingga diperlukan upaya pemerintah untuk mendorong peran serta masyarakat dalam melaporkan kejadian KRDT, sementara itu uu no 23 Tahun 2004 pasal 15 berbunyi “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Pasal tersebut tidak secara tegas “mewajibkan” masyarakat untuk melaporkan kejadian KDRT yang diketahuinya berbeda halnya dengan undang-undang narkotika dan psikotropika yang secara tegas mewajibkan masyarakat untuk melaporkan dan terdapat sangsi bagi yang tidak melaporkan.

3. Kebijakan Hukum terkait KDRT

a. Kasus KDRT sebagai delik aduan
Perempuan atau istri dan atau anak seringkali menjadi korban dalam KDRT meskipun tidak menutup kemungkinan KDRT dapat juga dialami oleh pria, pada beberapa kasus pria menjadi korban KDRT, tanpa bermaksud membela perempuan dan atau anak pelaku KDRT, jika ditelusuri kronologisnya sebagian besar kasus tersebut diakibatkan oleh KDRT yang dialami oleh perempuan dan atau anak yang terjadi berulang2 sehingga akhirnya perempuan dan anak terdesak dan melakukan pembelaan diri sehingga akhirnya berujung pada “KDRT balasan”.
Terlepas dari itu semua, KDRT siapa pun pelakunya tetap harus mendapat perlakuan yang sama dimata hukum. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan wujud keseriusan pemerintah mencegah dan melindungi korban KDRT meskipun beberapa pasal masih perlu dipertajam sehingga tidak hanya mampu “mengurangi KDRT “ , tetapi mampu “menghapuskan KDRT” seperti tujuan dari uu tersebut.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya banyaknya faktor mengakibatkan korban seringakali tidak berani melaporkan KDRT yang dialaminya, demikian juga masyarakat tidak secara tegas diwajibkan oleh undang-undang untuk melaporkan adanya KDRT lalu siapa yang berkewajiban untuk membawa kasus KDRT ke ranah hukum ? Kasus KDRT sesuai dengan UU no 23 tahun 2004 merupakan delik aduan, karena itu polisi pun tidak dapat menindak pelaku tanpa adanya aduan.

b. Proses pengadilan
Dalam uu no.23 tahun 2004 yang termasuk dalam domain KDRT adalah kekerasan terhadap fisik, psikologis, seksualitas dan penelantaran, pada kasus KDRT fisik, tanpa uu KDRT pelaku sudah dapat dijerat dengan KUHP pasal 351 dan hal ini bukan hal baru karena sejak lama undang2 ini sudah berlaku, yang merupakan ruh dan terobosan dalam undang2 KDRT adalah domain psikologis , seksualitas dan penelantaran, karena merupakan area yang tidak mudah untuk disentuh ke dalam ranah hukum selama ini, karena menyangkut masalah yang sulit terutama dalam pembuktian korbannya.
Dalam proses pengadilan diperlukan bukti-bukti yang mendukung untuk menjerat pelaku, visum merupakan alat bukti yang sah tetapi kadang harus memerlukan saksi-saksi lain, pada kasus KDRT fisik hal ini tidak menjadi persoalan namun tidak demikian dengan KDRT psikologis, seksualitas dan penelantaran yang sulit mendokumentasikan buktinya, demikian juga saksi yang diperlukan.

c. Ketentuan Pidana
Sebagiamana pelaku pelanggaran terhadap hukum demikian juga pelaku KDRT dihukum sesuai dengan perturan yang berlaku, sayangnya pasal 44 uu no 23 tahun 2004 yang mengatur soal sangsi bagi pelaku berpotensi menimbulkan keraguan penafsiran terutama ayat 4 yang menyebutkan “masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari”, masih perlu diterjemahkan maksud dari kalimat tersebut karena bersifat subjektif dan sangat individual .
Hal ini bisa berdampak pada putusan pengadilan dimana jika korban yang menderita serius tetapi karena kecanggihan teknologi kedokteran yang mengakibatkan ia “masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari” maka korban dianggap korban ringan dan pelaku dapat di giring ke pelanggaran ayat 4 yang sangat ringan yaitu kurungan paling lama 4 bulan dibandingkan ayat 1 dalam pasal 44 yang jauh lebih berat ketentuan pidana yang seharusnya diterima pelaku yaitu 5 tahun.

d. Perlindungan Korban
Berbagai hak yang diperoleh korban KDRT dalam pasal 10 uu no 23 tahun 2004 diantaranya perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.
Sayangnya dalam pasal 13 uu no 23 tahun 2004, hak tersebut tidak diiringi dengan adanya pihak yang berkewajiban untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing “dapat” melakukan upaya tersebut dan tidak disebutkan “berkewajiban” melakukan upaya tersebut.

4. Penutup
Dari golongan masyarakat manapun, dari agama apapun di muka bumi ini sepakat bahwa hidup aman, nyaman dan sejahtera adalah kehidupan yang diharapkan manusia. Dari sekian banyak konsep dan teori pun sepakat bahwa kehidupan dalam masyarakat dimulai dari keluarga dan kehidupan dalam keluarga dimulai dari individu-individu. Kekerasan dalam Rumah Tangga terjadi akbibat adanya ketidak seimbangan beberapa komponen manusia sebagai individu, adanya penyebab masalah, serta sistim nilai (value system) yang dipercayai.
Dari faktor individu banyak hal yang tidak dapat dijangkau oleh alam pikiran individu lain karena menyangkut aspek moral sehingga kesadaran diri (self awareness) satu-satunya sasaran yang harus dibidik, peranan pemuka agama untuk meluruskan keyakinan yang keliru dari pemeluknya terhadap penafsiran yang sejak lama mereka yakini kebenaranya dan ternyata tidak sesuai dengan kehidupan manusia saat ini.
Maraknya diskusi-diskusi serta seminar-seminar tentang KDRT pada intinya sepakat untuk menciptakan “zero tolerance” terhadap KDRT, penghapusan KDRT hanya mungkin jika didukung dengan perundangan yang tegas dan konsisten, termasuk sangsi pidana yang jelas dan membuat jera pelakunya.
Program-program pencegahan KDRT harus jelas secara operasional dan terintegrasi dalam program nasional dan mendapatkan anggaran khusus dalam APBN agar dapat terlaksana dengan baik, tidak sekedar menjadi program “gendongan” yang menempel dengan program lain yang kemudian tidak dapat dilaksanakan secara serius sesuai dengan harapan besar untuk “menghapus” KDRT.