KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
PENULIS : MUHAMMAD ALI, SKM
Dewasa ini masyarakat khususnya keluarga belum banyak menyadari bahwa sesungguhnya kejadian KDRT sangat banyak di sekitar kehidupan keluarga seperti contohnya ketika suami berkata kasar atau perilaku suami menciptakan rasa takut bagi istri dan anak, maka ini sesungguhnya sudah dapat digolongkan ke dalam KDRT, atau penelantaran orang tua terhadap anak seperti yang terjadi di kota-kota besar termasuk penyertaan anak dalam mencari nafkah sehingga hak bermain dan belajar menjadi hilang sesungguhnya juga merupakan KDRT dan korban mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum jika korban atau ada pihak yang melaporkan kejadian tersebut pada pihak berwajib.
Gencarnya peranan media massa dalam pemberitaan KDRT turut membantu terbukanya tabir kekerasan dalam rumah tangga walaupun lingkup pemberitaan biasanya berkisar “kasus besar” dan seringkali hanya seputar rumah tangga public vigur / artis misalnya, namun setidaknya sudah dapat membangun kesadaran bersama, bahwa masyarakat khususnya keluarga perlu mendapat perlindungan hukum terutama bagi anak dan perempuan yang dominan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-undang perkawinan 1974 semestinya melindungi pasangan suami istri dengan hak dan kewajiban yang sesuai dengan harkat dan martabatnya bukan sesuai dengan “kodratnya”, karena kata “kodrat” sering disalah artikan sehingga istri menjadi pihak yang selalu lemah dan dirugikan. Banyak pihak sepakat bahwa undang-undang perkawinan secara jelas telah mengakomodir “poligami” dengan syarat ijin dari istri namun ketika syarat itu dilanggar belum ada sangsi yang diberlakukan secara tegas.
Undang-undang yang mengatur poligami dan perceraian “dihalalkan” jika istri tidak memberikan keturunan menempatkan posisi perempuan menjadi satu-satunya tumpuan kesalahan, padahal secara medis banyak faktor yang mempengaruhi keluarga untuk mendapatkan keturunan diataranya faktor suami, baik faktor fisik maupun faktor psikologis.
Berlakunya uu no.23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT sedikit banyak diharapkan merupakan jaminan berkurangnya kasus KDRT meskipun masih terdapat pasal-pasal yang perlu dikaji karena kurang tegas upaya penanganan korban, pasal dengan potensi beda penafsiran, serta pasal yang tidak tegas mendorong masyarakt untuk melaporkan pelaku KDRT tidak seperti halnya undang2 psikotropika yang secara tegas mengharapkan laporan dari masyarakat serta sangsi2 bagi masyarakat yg tidak melapor.
1. Kultur Masyarakat Indonesia
Seringkali laporan kejadian KDRT oleh korban kepada pihak berwajib sudah pada kejadian KDRT tahap yang kronis, korban melaporkan jika nyawanya sudah hampir diujung tanduk dimana penderitaan yang dialami sudah berulang-ulang, ironisnya lagi sebagian besar pelapor pada akhirnya mencabut laporannya karena merasa kasihan atau mungkin merasa terancam akibat laporannya tersebut. Ada banyak faktor yang mengakibatkan korban enggan untuk melaporkan KDRT yang dialaminya diantaranya :
a. Kultur Patriakhi, yang menempatkan laki-laki/suami sebagai penguasa dalam rumah tangga, suami yang berhak mengambil keputusan dalam rumah tangga yang mengakibatkan posisi perempuan/istri “nrimo”, “manut”, sehingga pada tahap yang lanjut bahkan mengarah pada rasa takut yang berlebihan pada suami.
b. Seringkali kejadian atau persoalan KDRT yang dialami perempuan berujung pada penyelesaian di tingkat agama saja dan dengan “penyalahtafsiran” pada akhirnya mendudukan wanita pada kondisi harus patuh terhadap suami, istri harus menjaga aib rumah tangga sehingga tidak perlu membicarakan persoalan rumah tangga pada orang lain.
2. Peran Serta Masyarakat
Faktor kultural yang secara psikologis menyebabkan korban enggan melaporkan KDRT yang dialaminya, maka salah satu yang diharapkan dapat menegakan “keadilan” adalah adanya Peran serta masyarakat sekitar yang mengetahui, melihat kejadian KDRT namun kenyataannya masyarakat sekitarpun masih berpikir dua kali untuk melapor kejadian KDRT dikarenakan factor kultur ternyata juga mempengaruhi masyarakat, sebagaian masyarakat masih mempercayai bahwa kasus KDRT adalah persoalan internal keluarga dan keluargalah yang harus menyelesaikannya.
Ironisnya ketika korban tidak mampu untuk melapor ternyata masyarakat juga tidak memiliki alasan kuat untuk melapor sehingga diperlukan upaya pemerintah untuk mendorong peran serta masyarakat dalam melaporkan kejadian KRDT, sementara itu uu no 23 Tahun 2004 pasal 15 berbunyi “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: mencegah berlangsungnya tindak pidana; memberikan perlindungan kepada korban; memberikan pertolongan darurat; dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Pasal tersebut tidak secara tegas “mewajibkan” masyarakat untuk melaporkan kejadian KDRT yang diketahuinya berbeda halnya dengan undang-undang narkotika dan psikotropika yang secara tegas mewajibkan masyarakat untuk melaporkan dan terdapat sangsi bagi yang tidak melaporkan.
3. Kebijakan Hukum terkait KDRT
a. Kasus KDRT sebagai delik aduan
Perempuan atau istri dan atau anak seringkali menjadi korban dalam KDRT meskipun tidak menutup kemungkinan KDRT dapat juga dialami oleh pria, pada beberapa kasus pria menjadi korban KDRT, tanpa bermaksud membela perempuan dan atau anak pelaku KDRT, jika ditelusuri kronologisnya sebagian besar kasus tersebut diakibatkan oleh KDRT yang dialami oleh perempuan dan atau anak yang terjadi berulang2 sehingga akhirnya perempuan dan anak terdesak dan melakukan pembelaan diri sehingga akhirnya berujung pada “KDRT balasan”.
Terlepas dari itu semua, KDRT siapa pun pelakunya tetap harus mendapat perlakuan yang sama dimata hukum. UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan wujud keseriusan pemerintah mencegah dan melindungi korban KDRT meskipun beberapa pasal masih perlu dipertajam sehingga tidak hanya mampu “mengurangi KDRT “ , tetapi mampu “menghapuskan KDRT” seperti tujuan dari uu tersebut.
Seperti sudah dikemukakan sebelumnya banyaknya faktor mengakibatkan korban seringakali tidak berani melaporkan KDRT yang dialaminya, demikian juga masyarakat tidak secara tegas diwajibkan oleh undang-undang untuk melaporkan adanya KDRT lalu siapa yang berkewajiban untuk membawa kasus KDRT ke ranah hukum ? Kasus KDRT sesuai dengan UU no 23 tahun 2004 merupakan delik aduan, karena itu polisi pun tidak dapat menindak pelaku tanpa adanya aduan.
b. Proses pengadilan
Dalam uu no.23 tahun 2004 yang termasuk dalam domain KDRT adalah kekerasan terhadap fisik, psikologis, seksualitas dan penelantaran, pada kasus KDRT fisik, tanpa uu KDRT pelaku sudah dapat dijerat dengan KUHP pasal 351 dan hal ini bukan hal baru karena sejak lama undang2 ini sudah berlaku, yang merupakan ruh dan terobosan dalam undang2 KDRT adalah domain psikologis , seksualitas dan penelantaran, karena merupakan area yang tidak mudah untuk disentuh ke dalam ranah hukum selama ini, karena menyangkut masalah yang sulit terutama dalam pembuktian korbannya.
Dalam proses pengadilan diperlukan bukti-bukti yang mendukung untuk menjerat pelaku, visum merupakan alat bukti yang sah tetapi kadang harus memerlukan saksi-saksi lain, pada kasus KDRT fisik hal ini tidak menjadi persoalan namun tidak demikian dengan KDRT psikologis, seksualitas dan penelantaran yang sulit mendokumentasikan buktinya, demikian juga saksi yang diperlukan.
c. Ketentuan Pidana
Sebagiamana pelaku pelanggaran terhadap hukum demikian juga pelaku KDRT dihukum sesuai dengan perturan yang berlaku, sayangnya pasal 44 uu no 23 tahun 2004 yang mengatur soal sangsi bagi pelaku berpotensi menimbulkan keraguan penafsiran terutama ayat 4 yang menyebutkan “masih dapat melakukan kegiatan sehari-hari”, masih perlu diterjemahkan maksud dari kalimat tersebut karena bersifat subjektif dan sangat individual .
Hal ini bisa berdampak pada putusan pengadilan dimana jika korban yang menderita serius tetapi karena kecanggihan teknologi kedokteran yang mengakibatkan ia “masih mampu melakukan kegiatan sehari-hari” maka korban dianggap korban ringan dan pelaku dapat di giring ke pelanggaran ayat 4 yang sangat ringan yaitu kurungan paling lama 4 bulan dibandingkan ayat 1 dalam pasal 44 yang jauh lebih berat ketentuan pidana yang seharusnya diterima pelaku yaitu 5 tahun.
d. Perlindungan Korban
Berbagai hak yang diperoleh korban KDRT dalam pasal 10 uu no 23 tahun 2004 diantaranya perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani.
Sayangnya dalam pasal 13 uu no 23 tahun 2004, hak tersebut tidak diiringi dengan adanya pihak yang berkewajiban untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing “dapat” melakukan upaya tersebut dan tidak disebutkan “berkewajiban” melakukan upaya tersebut.
4. Penutup
Dari golongan masyarakat manapun, dari agama apapun di muka bumi ini sepakat bahwa hidup aman, nyaman dan sejahtera adalah kehidupan yang diharapkan manusia. Dari sekian banyak konsep dan teori pun sepakat bahwa kehidupan dalam masyarakat dimulai dari keluarga dan kehidupan dalam keluarga dimulai dari individu-individu. Kekerasan dalam Rumah Tangga terjadi akbibat adanya ketidak seimbangan beberapa komponen manusia sebagai individu, adanya penyebab masalah, serta sistim nilai (value system) yang dipercayai.
Dari faktor individu banyak hal yang tidak dapat dijangkau oleh alam pikiran individu lain karena menyangkut aspek moral sehingga kesadaran diri (self awareness) satu-satunya sasaran yang harus dibidik, peranan pemuka agama untuk meluruskan keyakinan yang keliru dari pemeluknya terhadap penafsiran yang sejak lama mereka yakini kebenaranya dan ternyata tidak sesuai dengan kehidupan manusia saat ini.
Maraknya diskusi-diskusi serta seminar-seminar tentang KDRT pada intinya sepakat untuk menciptakan “zero tolerance” terhadap KDRT, penghapusan KDRT hanya mungkin jika didukung dengan perundangan yang tegas dan konsisten, termasuk sangsi pidana yang jelas dan membuat jera pelakunya.
Program-program pencegahan KDRT harus jelas secara operasional dan terintegrasi dalam program nasional dan mendapatkan anggaran khusus dalam APBN agar dapat terlaksana dengan baik, tidak sekedar menjadi program “gendongan” yang menempel dengan program lain yang kemudian tidak dapat dilaksanakan secara serius sesuai dengan harapan besar untuk “menghapus” KDRT.
Informasi lainnya lihat ke atas, silahkan pilih sesuai tahun penerbitan
Rabu, 05 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan info atau membuat pertanyaan untuk kita diskusikan