Informasi lainnya lihat ke atas, silahkan pilih sesuai tahun penerbitan

Selamat datang di Kelurahan Sukabumi Utara

Selasa, 19 Oktober 2010

ಪೆನ್ಯಕಿತ್ ಕಂಕೆರ್ ಮುಂಗ್ಕಿನ್ ಅದ obatnya

Kanker kini tidak lagi mematikan. Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya anaman “KELADI TIKUS” (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lain. Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Drs.Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia. Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Dr Chris K.H.Teo,Dip Agric (M), BSc Agric (Hons)(M), MS, PhD dari Universiti Sains Malaysia dan juga pendiri Cancer Care Penang, Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia , Amerika, Inggris, Australia, Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.

Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut. “Sebelum menjalani kemoterapi,dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,”jelas Patoppoi.
Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker. “Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysia untuk membeli teh tersebut,” ujar Patoppoi yang juga ahli biologi. Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul “Cancer, Yet They Live” karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996. “Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum. Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu.
Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana. Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu.
Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi. Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu.
Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni.
Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi. Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi. Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa. Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untuk menginformasikan bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia. Kemudian Dr Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesiadan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas mengenai meninggalnya Wing Wir yanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos, Patoppoi sempat tercengang. Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut. Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo. Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos. Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif.
Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang, Malaysia. Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia, Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia. Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker. Dari pembicaraan mereka, Dr. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya. Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia, yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo. Cancer Care Malaysia telah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. “Dosis yang diperlukan tergantung penyakit yang diderita,”kata Boni.
Untuk mendapatkan obat tersebut, penderita harus mengisi formulir yang menanyakan keadaan dan gejala penderita dan akan dikirimkan melalui fax ke Dr. Teo. “Formulir tersebut dapat diisi disini, dan akan kami fax-kan. Kemudian Dr. Teo sendiri yang akan mengirimkan resep sekaligus obatnya, dengan harga langsung dari Malaysia , sekitar 40-60 Ringgit Malaysia ,” lanjut Boni. “Jadi pasien hanya membayar biaya fax dan obat, kami tidak menarik keuntungan, malahan untuk yang kurang mampu, Dr.Teo bisa memberikan perpanjangan waktu pembayaran.” tambahnya.
Sebenarnya pengobatan ini juga didukung dan sedang dicoba oleh salah satu dokter senior di Surabaya, pada pasiennya yang mengidap kanker ginjal. Ada dua pasien yang sedang dirawat dokter yang pernah menjabat sebagai direktur salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya ini. Pasien pertama yang mengidap kanker rahim tidak sempat diberi pengobatan dengan keladi tikus, karena telah ditangani oleh rekan-rekan dokter yang telah memiliki reputasi. Setelah menjalani kemoterapi dan radiologi, pasien tersebut mengalami kerontokan rambut, kulit rusak dan gatal, dan selalu muntah. Tetapi pada pasien kedua yang mengidap kanker ginjal, dokter ini menanganinya sendiri dan juga memberikan pil keladi tikus untuk membantu proses penyembuhan kemoterapi.
Pada pasien kedua ini, tidak ditemui berbagai efek yang dialami penderita pertama, bahkan pasien tersebut kelihatan normal. Tetapi dokter ini menolak untuk diekspos karen menurutnya, pengobatan ini belum resmi diteliti di Indonesia. Menurutnya, jika rekan-rekannya mengetahui bahwa dia memakai pengobatan alternatif, mereka akan memberikan predikat sebagai “ter-kun” atau dokter-dukun. “Disinilah gap yang terbuka antara pengobatan konvensional dan modern,” kata dokter tersebut.
Banyak hal menarik yang dialami Boni selama menerima dan memberikan bantuan kepada berbagai pasien. Bahkan ada pecandu berat putaw dan sabu-sabu di Surabaya , yang pada akhirnya pecandu tersebut mendapat kanker paru-paru. Setelah mendapat vonis kanker paru-paru stadium III, pasien tersebut mengkonsumsi pil dan teh dari Cancer Care. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ternyata obat tersebut dapat mengeluarkan racun narkoba dari peredaran darah penderita dan mengatasi ketergantungan pada narkoba tersebut. “Tapi, jika pecandu sudah bisa menetralisir racun dengan keladi tikus, dia tidak boleh memakai narkoba lagi, karena pasti akan timbul resistensi. Jadi jangan seperti kebo, habis mandi berkubang lagi,” sambung Boni sambil tertawa.
Juga ada pengalaman pasien yang meraung-raung kesakitan akibat serangan kanker yang menggerogotinya, karena obat penawar rasa sakit sudah tidak mempan lagi. Setelah diberi minum sari keladi tikus, beberapa saat kemudian pasien tersebut tenang dan tidak lagi merasa kesakitan. Menurut data Cancer Care Malaysia, berbagai penyakit yang telah disembuhkan adalah berbagai kanker dan penyakit berat seperti kanker payudara, paru-paru, usus besar-rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis.
Jadi diharapkan agar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran Ringgit Malaysia selama 5 tahun dapat benar-benar berguna bagi dunia kesehatan. Bagi anda yang memerlukan informasi lebih lanjut sehubungan dengan artikel “Obat Kanker” bisa menghubungi perwakilan lembaga sosial “Cancer Care Indonesia ” beralamat di : Jl. Kayu Putih 4 no.5 Jakarta, telp : 021-4894745.

oleh niyaxa

Semoga bermanfaat …. Dear Rekan rekan Semoga bermanfaat JIKA ANDA MAU BERBAIK HATI TERHADAP SESAMA…. TOLONG SEBARKAN INFORMASI INI… Penyakit Kanker Sudah Tidak Berbahaya Lagi Kanker tidak lagi mematikan. Para penderita kanker di Indonesia dapat memiliki harapan hidup yang lebih lama dengan ditemukannya tanaman “KELADI TIKUS” (

"KELADI TIKUS" (Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber)
Typhonium Flagelliforme/ Rodent Tuber) sebagai tanaman obat yang dapat menghentikan dan mengobati berbagai penyakit kanker dan berbagai penyakit berat lain. Tanaman sejenis talas dengan tinggi maksimal 25 sampai 30 cm ini hanya tumbuh di semak yang tidak terkena sinar matahari langsung. “Tanaman ini sangat banyak ditemukan di Pulau Jawa,” kata Drs.Patoppoi Pasau, orang pertama yang menemukan tanaman itu di Indonesia . Tanaman obat ini telah diteliti sejak tahun 1995 oleh Prof Dr Chris K.H.Teo,Dip Agric (M), BSc Agric (Hons)(M), MS, PhD dari Universiti Sains Malaysia dan juga pendiri Cancer Care Penang, Malaysia. Lembaga perawatan kanker yang didirikan tahun 1995 itu telah membantu ribuan pasien dari Malaysia , Amerika, Inggris , Australia , Selandia Baru, Singapura, dan berbagai negara di dunia.. Di Indonesia, tanaman ini pertama ditemukan oleh Patoppoi di Pekalongan, Jawa Tengah. Ketika itu, istri Patoppoi mengidap kanker payudara stadium III dan harus dioperasi 14 Januari 1998. Setelah kanker ganas tersebut diangkat melalui operasi, istri Patoppoi harus menjalani kemoterapi (suntikan kimia untuk membunuh sel, Red) untuk menghentikan penyebaran sel-sel kanker tersebut. “Sebelum menjalani kemoterapi,dokter mengatakan agar kami menyiapkan wig (rambut palsu) karena kemoterapi akan mengakibatkan kerontokan rambut, selain kerusakan kulit dan hilangnya nafsu makan,” jelas Patoppoi. Selama mendampingi istrinya menjalani kemoterapi, Patoppoi terus berusaha mencari pengobatan alternatif sampai akhirnya dia mendapatkan informasi mengenai penggunaan teh Lin Qi di Malaysia untuk mengobati kanker. “Saat itu juga saya langsung terbang ke Malaysiauntuk membeli teh tersebut,” ujar Patoppoi yang juga ahli biologi. Ketika sedang berada di sebuah toko obat di Malaysia , secara tidak sengaja dia melihat dan membaca buku mengenai pengobatan kanker yang berjudul Cancer, Yet They Live karangan Dr Chris K.H. Teo terbitan 1996. “Setelah saya baca sekilas, langsung saja saya beli buku tersebut. Begitu menemukan buku itu, saya malah tidak jadi membeli teh Lin Qi, tapi langsung pulang ke Indonesia ,” kenang Patoppoi sambil tersenyum. Di buku itulah Patoppoi membaca khasiat typhonium flagelliforme itu. Berdasarkan pengetahuannya di bidang biologi, pensiunan pejabat Departemen Pertanian ini langsung menyelidiki dan mencari tanaman tersebut. Setelah menghubungi beberapa koleganya di berbagai tempat, familinya di Pekalongan Jawa Tengah, balas menghubunginya. Ternyata, mereka menemukan tanaman itu di sana . Setelah mendapatkan tanaman tersebut dan mempelajarinya lagi, Patoppoi menghubungi Dr. Teo di Malaysia untuk menanyakan kebenaran tanaman yang ditemukannya itu. Selang beberapa hari, Dr Teo menghubungi Patoppoi dan menjelaskan bahwa tanaman tersebut memang benar Rodent Tuber. “Dr Teo mengatakan agar tidak ragu lagi untuk menggunakannya sebagai obat,” lanjut Patoppoi. Akhirnya, dengan tekad bulat dan do’a untuk kesembuhan, Patoppoi mulai memproses tanaman tersebut sesuai dengan langkah-langkah pada buku tersebut untuk diminum sebagai obat. Kemudian Patoppoi menghubungi putranya, Boni Patoppoi di Buduran, Sidoarjo untuk ikut mencarikan tanaman tersebut. “Setelah melihat ciri-ciri tanaman tersebut, saya mulai mencari di pinggir sungai depan rumah dan langsung saya dapatkan tanaman tersebut tumbuh liar di pinggir sungai,” kata Boni yang mendampingi ayahnya saat itu. Selama mengkonsumsi sari tanaman tersebut, isteri Patoppoi mengalami penurunan efek samping kemoterapi yang dijalaninya. Rambutnya berhenti rontok, kulitnya tidak rusak dan mual-mual hilang. “Bahkan nafsu makan ibu saya pun kembali normal,” lanjut Boni. Setelah tiga bulan meminum obat tersebut, isteri Patoppoi menjalani pemeriksaan kankernya. “Hasil pemeriksaan negatif, dan itu sungguh mengejutkan kami dan dokter-dokter di Jakarta ,” kata Patoppoi. Para dokter itu kemudian menanyakan kepada Patoppoi, apa yang diberikan pada isterinya.. “Malah mereka ragu, apakah mereka telah salah memberikan dosis kemoterapi kepada kami,” lanjut Patoppoi. Setelah diterangkan mengenai kisah tanaman Rodent Tuber, para dokter pun mendukung Pengobatan tersebut dan menyarankan agar mengembangkannya. Apalagi melihat keadaan isterinya yang tidak mengalami efek samping kemoterapi yang sangat keras tersebut. Dan pemeriksaan yang seharusnya tiga bulan sekali diundur menjadi enam bulan sekali.”Tetapi karena sesuatu hal, para dokter tersebut tidak mau mendukung secara terang-terangan penggunaan tanaman sebagai pengobatan alternatif,” sambung Boni sambil tertawa. Setelah beberapa lama tidak berhubungan, berdasarkan peningkatan keadaan isterinya, pada bulan April 1998, Patoppoi kemudian menghubungi Dr.Teo melalui fax untukmenginformasik an bahwa tanaman tersebut banyak terdapat di Jawa dan mengajak Dr. Teo untuk menyebarkan penggunaan tanaman ini di Indonesia. Kemudian Dr . Teo langsung membalas fax kami, tetapi mereka tidak tahu apa yang harus mereka perbuat, karena jarak yang jauh,” sambung Patoppoi. Meskipun Patoppoi mengusulkan agar buku mereka diterjemahkan dalam bahasa Indonesiadan disebar-luaskan di Indonesia, Dr. Teo menganjurkan agar kedua belah pihak bekerja sama dan berkonsentrasi dalam usaha nyata membantu penderita kanker di Indonesia. Kemudian, pada akhir Januari 2000 saat Jawa Pos mengulas habis mengenai meninggalnya Wing Wiryanto, salah satu wartawan handal Jawa Pos,Patoppoi sempat tercengang. Data-data rinci mengenai gejala, penderitaan, pengobatan yang diulas di Jawa Pos, ternyata sama dengan salah satu pengalaman pengobatan penderita kanker usus yang dijelaskan di buku tersebut. Dan eksperimen pengobatan tersebut berhasil menyembuhkan pasien tersebut. “Lalu saya langsung menulis di kolom Pembaca Menulis di Jawa Pos,” ujar Boni. Dan tanggapan yang diterimanya benar-benar diluar dugaan. Dalam sehari, bisa sekitar 30 telepon yang masuk. “Sampai saat ini, sudah ada sekitar 300 orang yang datang ke sini,” lanjut Boni yang beralamat di Jl. KH. Khamdani, Buduran Sidoarjo. Pasien pertama yang berhasil adalah penderita Kanker Mulut Rahim stadium dini. Setelah diperiksa, dokter mengatakan harus dioperasi.. Tetapi karena belum memiliki biaya dan sambil menunggu rumahnya laku dijual untuk biaya operasi, mereka datang setelah membaca Jawa Pos. Setelah diberi tanaman dan cara meminumnya, tidak lama kemudian pasien tersebut datang lagi dan melaporkan bahwa dia tidak perlu dioperasi, karena hasil pemeriksaan mengatakan negatif. Berdasarkan animo masyarakat sekitar yang sangat tinggi, Patoppoi berusaha untuk menemui Dr. Teo secara langsung. Atas bantuan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan, Sampurno, Patoppoi dapat menemui Dr. Teo di Penang , Malaysia . Di kantor Pusat Cancer Care Penang, Malaysia , Patoppoi mendapat penerangan lebih lanjut mengenai riset tanaman yang saat ditemukan memiliki nama Indonesia . Ternyata saat Patoppoi mendapat buku “Cancer, Yet They Live” edisi revisi tahun 1999, fax yang dikirimnya di masukkan dalam buku tersebut, serta pengalaman isterinya dalam usahanya berperang melawan kanker.. Dari pembicaraan mereka, Dr.. Teo merekomendasi agar Patoppoi mendirikan perwakilan Cancer Care di Jakarta dan Surabaya . Maka secara resmi, Patoppoi dan putranya diangkat sebagai perwakilan lembaga sosial Cancer Care Indonesia , yang juga disebutkan dalam buletin bulanan Cancer Care, yaitu di Jl. Kayu Putih 4 No. 5, Jakarta , telp. 021-4894745, dan di Buduran, Sidoarjo. Cancer Care Malaysiatelah mengembangkan bentuk pengobatan tersebut secara lebih canggih. Mereka telah memproduksi ekstrak Keladi Tikus dalam bentuk pil dan teh bubuk yang dikombinasikan dengan berbagai tananaman lainnya dengan dosis tertentu. “Dosis yang diperlukan tergantung penyakit yang diderita,” kata Boni. Untuk mendapatkan obat tersebut, penderita harus mengisi formulir yang menanyakan keadaan dan gejala penderita dan akan dikirimkan melalui fax ke Dr. Teo. “Formulir tersebut dapat diisi disini, dan akan kami fax-kan. Kemudian Dr. Teo sendiri yang akan mengirimkan resep sekaligus obatnya, dengan harga langsung dari Malaysia , sekitar 40-60 Ringgit Malaysia ,” lanjut Boni. ” Jadi pasien hanya membayar biaya fax dan obat, kami tidak menarik keuntungan, malahan untuk yang kurang mampu, Dr.Teo bisa memberikan perpanjangan waktu pembayaran. ” tambahnya. Sebenarnya pengobatan ini juga didukung dan sedang dicoba oleh salah satu dokter senior di Surabaya, pada pasiennya yang mengidap kanker ginjal. Adadua pasien yang sedang dirawat dokter yang pernah menjabat sebagai direktur salah satu rumah sakit terbesar di Surabayaini. Pasien pertama yang mengidap kanker rahim tidak sempat diberi pengobatan dengan keladi tikus, karena telah ditangani oleh rekan-rekan dokter yang telah memiliki reputasi. Setelah menjalani kemoterapi dan radiologi, pasien tersebut mengalami kerontokan rambut, kulit rusak dan gatal, dan selalu muntah. Tetapi pada pasien kedua yang mengidap kanker ginjal, dokter ini menanganinya sendiri dan juga memberikan pil keladi tikus untuk membantu proses penyembuhan kemoterapi. Pada pasien kedua ini, tidak ditemui berbagai efek yang dialami penderita pertama, bahkan pasien tersebut kelihatan normal. Tetapi dokter ini menolak untuk diekspos karena menurutnya, pengobatan ini belum resmi diteliti di Indonesia . Menurutnya, jika rekan-rekannya mengetahui bahwa dia memakai pengobatan alternatif, mereka akan memberikan predikat sebagai “ter-kun” atau dokter-dukun. “Disinilah gap yang terbuka antara pengobatan konvensional dan modern,” kata dokter tersebut. Banyak hal menarik yang dialami Boni selama menerima dan memberikan bantuan kepada berbagai pasien. Bahkan ada pecandu berat putaw dan sabu-sabu di Surabaya , yang pada akhirnya pecandu tersebut mendapat kanker paru-paru. Setelah mendapat vonis kanker paru-paru stadium III, pasien tersebut mengkonsumsi pil dan teh dari Cancer Care. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ternyata obat tersebut dapat mengeluarkan racun narkoba dari peredaran darah penderita dan mengatasi ketergantungan pada narkoba tersebut. “Tapi, jika pecandu sudah bisa menetralisir racun dengan keladi tikus, dia tidak boleh memakai narkoba lagi, karena pasti akan timbul resistensi. Jadi jangan seperti kebo, habis mandi berkubang lagi,” sambung Boni sambil tertawa. Juga ada pengalaman pasien yang meraung-raung kesakitan akibat serangan kanker yang menggerogotinya, karena obat penawar rasa sakit sudah tidak mempan lagi. Setelah diberi minum sari keladi tikus, beberapa saat kemudian pasien tersebut tenang dan tidak lagi merasa kesakitan. Menurut data Cancer Care Malaysia, berbagai penyakit yang telah disembuhkan adalah berbagai kanker dan penyakit berat seperti kanker payudara, paru-paru, usus besar-rectum, liver, prostat, ginjal, leher rahim, tenggorokan, tulang, otak, limpa, leukemia, empedu, pankreas, dan hepatitis. Jadi diharapkan agar hasil penelitian yang menghabiskan milyaran Ringgit Malaysia selama 5 tahun dapat benar-benar berguna bagi dunia kesehatan. Bagi teman-teman yang memerlukan informasi lebih lanjut sehubungan dengan art ike l “Obat Kanker” bisa menghubungi perwakilan lembaga sosial

Rabu, 13 Oktober 2010

HIV & AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV;[1] atau infeksi virus-virus lain yang mirip yang menyerang spesies lainnya (SIV, FIV, dan lain-lain).
Virusnya sendiri bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.
HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu.[2][3] Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.
Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika Sub-Sahara.[4] Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkiraan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia.[5] Pada Januari 2006, UNAIDS bekerja sama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak.[5] Sepertiga dari jumlah kematian ini terjadi di Afrika Sub-Sahara, sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menghancurkan kekuatan sumber daya manusia di sana. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua negara.[6]
Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

AIDS merupakan penyakit yang paling ditakuti pada saat ini. HIV, virus yang menyebabkan penyakit ini, merusak sistem pertahanan tubuh (sistem imun), sehingga orang-orang yang menderita penyakit ini kemampuan untuk mempertahankan dirinya dari serangan penyakit menjadi berkurang. Seseorang yang positif mengidap HIV, belum tentu mengidap AIDS. Banyak kasus di mana seseorang positif mengidap HIV, tetapi tidak menjadi sakit dalam jangka waktu yang lama. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang akan terus merusak sistem imun. Akibatnya, virus, jamur dan bakteri yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena rusaknya sistem imun tubuh.
Karena ganasnya penyakit ini, maka berbagai usaha dilakukan untuk mengembangkan obat-obatan yang dapat mengatasinya. Pengobatan yang berkembang saat ini, targetnya adalah enzim-enzim yang dihasilkan oleh HIV dan diperlukan oleh virus tersebut untuk berkembang. Enzim-enzim ini dihambat dengan menggunakan inhibitor yang nantinya akan menghambat kerja enzim-enzim tersebut dan pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan virus HIV.
HIV merupakan suatu virus yang material genetiknya adalah RNA (asam ribonukleat) yang dibungkus oleh suatu matriks yang sebagian besar terdiri atas protein. Untuk tumbuh, materi genetik ini perlu diubah menjadi DNA (asam deoksiribonukleat), diintegrasikan ke dalam DNA inang, dan selanjutnya mengalami proses yang akhirnya akan menghasilkan protein. Protein-protein yang dihasilkan kemudian akan membentuk virus-virus baru.

Gambar 1A Struktur Virus HIV

Gambar 1B Daur hidup HIV
Obat-obatan yang telah ditemukan pada saat ini menghambat pengubahan RNA menjadi DNA dan menghambat pembentukan protein-protein aktif. Enzim yang membantu pengubahan RNA menjadi DNA disebut reverse transcriptase, sedangkan yang membantu pembentukan protein-protein aktif disebut protease.
Untuk dapat membentuk protein yang aktif, informasi genetik yang tersimpan pada RNA virus harus diubah terlebih dahulu menjadi DNA. Reverse transcriptase membantu proses pengubahan RNA menjadi DNA. Jika proses pembentukan DNA dihambat, maka proses pembentukan protein juga menjadi terhambat. Oleh karena itu, pembentukan virus-virus yang baru menjadi berjalan dengan lambat. Jadi, penggunaan obat-obatan penghambat enzim reverse transcriptase tidak secara tuntas menghancurkan virus yang terdapat di dalam tubuh. Penggunaan obat-obatan jenis ini hanya menghambat proses pembentukan virus baru, dan proses penghambatan ini pun tidak dapat menghentikan proses pembentukan virus baru secara total.
Obat-obatan lain yang sekarang ini juga banyak berkembang adalah penggunaan penghambat enzim protease. Dari DNA yang berasal dari RNA virus, akan dibentuk protein-protein yang nantinya akan berperan dalam proses pembentukan partikel virus yang baru. Pada mulanya, protein-protein yang dibentuk berada dalam bentuk yang tidak aktif. Untuk mengaktifkannya, maka protein-protein yang dihasilkan harus dipotong pada tempat-tempat tertentu. Di sinilah peranan protease. Protease akan memotong protein pada tempat tertentu dari suatu protein yang terbentuk dari DNA, dan akhirnya akan menghasilkan protein yang nantinya akan dapat membentuk protein penyusun matriks virus (protein struktural) ataupun protein fungsional yang berperan sebagai enzim.

Gambar 2 (klik untuk memperbesar)
Gambar 2 menunjukkan skema produk translasional dari gen gag-pol dan daerah di mana produk dari gen tersebut dipecah oleh protease. p17 berfungsi sebagai protein kapsid, p24 protein matriks, dan p7 nukleokapsid. p2, p1 dan p6 merupakan protein kecil yang belum diketahui fungsinya. Tanda panah menunjukkan proses pemotongan yang dikatalisis oleh protease HIV (Flexner, 1998).
Menurut Flexner (1998), pada saat ini telah dikenal empat inhibitor protease yang digunakan pada terapi pasien yang terinfeksi oleh virus HIV, yaitu indinavir, nelfinavir, ritonavir dan saquinavir. Satu inhibitor lainnya masih dalam proses penelitian, yaitu amprenavir. Inhibitor protease yang telah umum digunakan, memiliki efek samping yang perlu dipertimbangkan. Semua inhibitor protease yang telah disetujui memiliki efek samping gastrointestinal. Hiperlipidemia, intoleransi glukosa dan distribusi lemak abnormal dapat juga terjadi.

Gambar 3 (klik untuk memperbesar)
Gambar 3 menujukkan lima struktur inhibitor protease HIV dengan aktivitas antiretroviral pada uji klinis. NHtBu = amido tersier butil dan Ph = fenil (Flexner, 1998).
Uji klinis menunjukkan bahwa terapi tunggal dengan menggunakan inhibitor protease saja dapat menurunkan jumlah RNA HIV secara signifikan dan meningkatkan jumlah sel CD4 (indikator bekerjanya sistem imun) selama minggu pertama perlakuan. Namun demikian, kemampuan senyawa-senyawa ini untuk menekan replikasi virus sering kali terbatas, sehingga menyebabkan terjadinya suatu seleksi yang menghasilkan HIV yang tahan terhadap obat. Karena itu, pengobatan dilakukan dengan menggunakan suatu terapi kombinasi bersama-sama dengan inhibitor reverse transcriptase. Inhibitor protease yang dikombinasikan dengan inhibitor reverse transkriptase menunjukkan respon antiviral yang lebih signifikan yang dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama (Patrick & Potts, 1998).
Dari uraian di atas, kita dapat mengetahui bahwa sampai saat ini belum ada obat yang benar-benar dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS. Obat-obatan yang telah ditemukan hanya menghambat proses pertumbuhan virus, sehingga jumlah virus dapat ditekan.
Oleh karena itu, tantangan bagi para peneliti di seluruh dunia (termasuk Indonesia) adalah untuk mencari obat yang dapat menghancurkan virus yang terdapat dalam tubuh, bukan hanya menghambat pertumbuhan virus. Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati, tentunya memiliki potensi yang sangat besar untuk ditemukannya obat yang berasal dari alam. Penelusuran senyawa yang berkhasiat tentunya memerlukan penelitian yang tidak sederhana. Dapatkah obat tersebut ditemukan di Indonesia? Wallahu a’lam.
Pustaka:
1. Flexner, C. 1998. HIV-Protease Inhibitor. N. Engl. J.Med. 338:1281-1293
2. Patrick, A.K. & Potts, K.E. 1998. Protease Inhibitors as Antiviral Agents. Clin. Microbiol. Rev. 11: 614-627.
AIDS di Indonesia ditangani oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan memiliki Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk wilayah Indonesia. Ada 79 daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan provinsi: Papua, Papua Barat, Sumatra Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Program-program penanggulangan AIDS menekankan pada pencegahan melalui perubahan perilaku dan melengkapi upaya pencegahan tersebut dengan layanan pengobatan dan perawatan. Program PEPFAR di Indonesia bekerja sama secara erat dengan saat ini.
Sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung.
Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Epidemi tersebut terutama terkonsentrasi di kalangan pengguna obat terlarang melalui jarum suntik dan pasangan intimnya, orang yang berkecimpung dalam kegiatan prostitusi dan pelanggan mereka, dan pria yang melakukan hubungan seksual dengan sesama pria. Sejak 30 Juni 2007, 42% dari kasus AIDS yang dilaporkan ditularkan melalui hubungan heteroseksual dan 53% melalui penggunaan obat terlarang
Sumber :
http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/berita/adakah_obat_untuk_hivaids_saat_ini/
http://id.wikipedia.org/wiki/AIDS